Mengelola Persepsi Masyarakat dalam Redenominasi Rupiah

- Jumat, 1 September 2023 | 16:00 WIB
Ilustrasi: Muid/watyutink.com
Ilustrasi: Muid/watyutink.com

Oleh: YB. Suhartoko, Dr., SE., ME
Dosen Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan dan Magister Ekonomi Terapan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta

Pernahkah kita membayangkan harga suatu barang, katakan beras, sebesar Rp1.500.000/kg, harga sebotol air mineral Rp 1.000.000 di masa mendatang? Atau membayangkan beras sebesar Rp15/kg, harga sebotol air mineral Rp10/botol di masa mendatang?

Pencantuman nilai barang dalam rupiah tersebut sesuai dengan fungsi uang sebagai satuan nilai. Artinya, dengan menggunakan uang, nilai nominal suatu barang dapat diketahui. Berkaitan dengan itu, jika terjadi inflasi, nilai nominal suatu barang akan naik. Namun demikian, kenaikan nilai nominal tersebut tidak mencerminkan kenaikan tingkat kualitasnya dan manfaatnya.

Harga suatu barang yang bernilai nominal jutaan, bahkan miliaran mau tidak mau akan berkaitan, dengan meningkatnya kompleksitas pencatatan transaksi keuangan, peredaran uang dan manajemen uang kartal. Di samping itu harga dalam satuan juta, milyaran secara obyektif merupakan harga yang mahal dibandingkan jika suatu harga barang dinilai dalam satuan puluhan, ratusan atau ribuan rupiah.

Persepsi terhadap harga dalam konsep nominal ini, tentu saja berkaitan dengan kepercayaan dan kebanggaan terhadap mata uang suatu negara. Berkaitan dengan itu, agar tidak terjadi harga suatu barang yang saat ini yang akan bernilai nominal ratusan, ribuan menjadi jutaan atau milyaran di masa mendatang, maka perlu dilakukan antisipasi kebijakan pemerintah.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024 yang salah satunya menjelaskan tentang Rancangan Undang-undang tentang Redenominasi Rupiah.Nantinya, penyederhanaan rupiah dilakukan dengan mengurangi tiga angka nol di belakang, contohnya Rp1.000 menjadi Rp1.

Redenominasi didefinisikan sebagai penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukar riil. Redenominasi bertujuan untuk menyederhanakan jumlah digit pada pecahan rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga atau nilai rupiah terhadap harga barang dan atau jasa.

Terdapat dua poin yang merupakan urgensi dari RUU redenominasi ini, yang pertama menimbulkan efisiensi perekonomian berupa percepatan waktu transaksi, berkurangnya risiko human error, dan efisiensi pencantuman harga barang/jasa karena sederhananya jumlah digit Rupiah. Yang kedua menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi dan pelaporan APBN karena tidak banyaknya jumlah digit Rupiah.

Melaksanakan kebijakan redenominasi harus dilakukan secara cermat dan berhati-hati, karena dampaknya dapat menimbulkan inflasi yang besar karena kesalahan persepsi. Dari sisi ekonomi dan sosial, menurut Gubernur Bank Indonesia, kebijakan redenominasi harus dilakukan pada saat yang tepat, yaitu ketika kondisi makro ekonomi stabil, sistem keuangan dan moneter yang stabil, serta kondisi sosial dan politik yang kondusif.

Berdasarkan kajian Center for Public Policy Transformation & Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB dalam Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 30 negara yang telah melakukan redenominasi di mata uangnya menunjukkan bahwa negara dengan inflasi rendah (<10%) memiliki risiko kegagalan rendah dalam , jika dibandingkan dengan negara yang mengaplikasikan redenominasi saat inflasinya cukup tinggi (>10%).

Hal lain yang perlu dipersiapkan adalah mengelola persepsi masyarakat terhadap harga yang pasti akan berubah, baik produsen, maupun konsumen. Akibat redenominasi, secara psikologis terjadi money illusion, sehingga menimbulkan persepsi harga yang murah, yang jika ini dimanfaatkan oleh produsen, dengan menaikkan harga nominal dalam satuan rupiah terkecil akan menimbulkan inflasi yang besar dalam jangka pendek.

Pengalaman Redenominasi Negara Lain

Redenominasi Rumania dilakukan pada 1 Juli 2005 dengan mengurangi 4 digit angka nol (Leu) menjadi 1 Leu memberikan dampak positif bagi mata uangnya. Setelah melakukan redenominasi, Leu sempat mengalami pelemahan terhadap EUR maupun USD hingga 2007.

Hal ini tidak berlangsung lama sejak memasuki 2008 hingga 2019 terjadi penguatan mata uang Leu terhadap EUR dan USD yang mengindikasikan bahwa Leu mampu bersaing dengan dengan mata uang global. Kondisi inflasi Rumania saat redenominasi yakni termasuk dalam kategori inflasi ringan (<10%).

Halaman:

Editor: Ahmad Kanedi

Tags

Terkini

Udara Jakarta Sangat Tidak Sehat Jumat Pagi

Jumat, 29 September 2023 | 15:35 WIB

Politik Dinasti, Racun Peradaban Politik Nasional

Senin, 11 September 2023 | 16:57 WIB

Politik Sirkus Para Pencuri Perhatian

Selasa, 5 September 2023 | 18:39 WIB

2024, NO Jokowi, NO Kemenangan?

Kamis, 31 Agustus 2023 | 07:54 WIB

Tantangan Indonesia Hadapi Era Industri 4.0

Rabu, 9 Agustus 2023 | 19:00 WIB

Idul Adha Melahirkan Manusia Terbaik

Jumat, 30 Juni 2023 | 20:14 WIB

Piagam Jakarta dan Kearifan Bangsa Indonesia

Kamis, 22 Juni 2023 | 16:00 WIB

Kemiskinan Tanpa "Pemiskinan"

Kamis, 22 Juni 2023 | 07:00 WIB

Satu Jam di Alam Terbuka

Selasa, 13 Juni 2023 | 16:30 WIB

Teladan Pendiri Bangsa, Standar Etika Politik

Jumat, 26 Mei 2023 | 11:15 WIB

Solusi Lintas Ilmu, Negara, dan Generasi

Minggu, 21 Mei 2023 | 13:00 WIB

Antara Inspeksi dan Introspeksi

Rabu, 10 Mei 2023 | 15:00 WIB

Mencegah Kepunahan Pilar Peradaban

Minggu, 7 Mei 2023 | 11:30 WIB

Buruh Dapat Apa di Hari Buruh?

Jumat, 5 Mei 2023 | 15:02 WIB

Menarilah untuk Bumi dan Manusia

Sabtu, 29 April 2023 | 10:00 WIB
X