Watyutink.com – Sejumlah aktivis menyambangi Rumah Tahanan Salemba medio Januari lalu. Mereka membesuk Ketua Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI), SK Budiardjo dan istri yang sejak 10 Januari 2023 mendekam di hotel prodeo itu.
Dari nama forum yang dipimpinnya, sepintas orang bisa menduga ia ditahan karena apa. Ya benar, ia dimasukkan ke dalam sel lantaran pembela hak tanah rakyat sekaligus korban mafia tanah. Ia melaporkan terjadinya tindak pidana penganiayaan terhadap dirinya, pencurian 5 unit kontainer beserta isi miliknya, dan perampasan lahannya seluas 10259 meter persegi kepada penegak hukum, namun berujung di bui.
Para aktivis tidak terima atas perlakukan yang dialami Budiardjo, lantaran yang bersangkutan hanya memperjuangkan hak miliknya, yakni tanah, namun dikriminalisasi. Mereka yang menghabiskan uang negara triliunan rupiah bebas berkeliaran, sementara yang memperjuangkan hak dan kebenaran malah cepat dimasukkan ke dalam bui.
Untuk itu seluruh masyarakat diminta bergandengan tangan untuk bersama-sama melawan mafia tanah agar Indonesia tidak menjadi negara mafia.
Mafia tanah bekerja seperti hantu. Mereka beroperasi dalam senyap, halus, sembunyi-sembunyi, tak kasat mata. Tak heran jika tiba-tiba tanah dengan sertifikat hak atas tanah yang tidak dikuasai diserobot oleh pihak lain, orang atau korporasi, secara tanpa hak.
Tiba-tiba juga ada yang menjual tanpa alas hak tanah masyarakat dengan sertifikat hak atas tanah yang dikuasai oleh masyarakat lain tanpa bukti kepemilikan yang sah seperti eigendom verponding letter c, girik, dan bukti pembayaran pajak.
Tiba-tiba juga terbit sertifikat hak atas tanah oleh pihak lain atas tanah yang dihuni oleh masyarakat secara turun temurun yang tidak bersertifikat. Atau tanah yang dihuni oleh masyarakat secara turun temurun yang tidak bersertifikat, diperjualbelikan oleh pihak yang tidak berhak kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan penghuninya.
Tiba-tiba juga muncul sertifikat hak atas tanah milik masyarakat di atas tanah aset pemerintah perolehan masa lalu (eigendom verponding, BAST, penguasaan tanah eks penjajah) yang sudah dicatatkan sebagai aset.
Ada juga penguasaan oleh perseorangan yang melebihi batas yang diperoleh dengan cara membeli tanah masyarakat disertai ancaman, kemudian tanah tersebut dialihkan kepada pihak ketiga yakni pengembang properti.
Masih banyak lagi bentuk-bentuk kejahatan mafia tanah yang tidak disebutkan di sini. Daftarnya akan semakin panjang jika sepak terjang mafia tidak diredam.
Untuk melawan mafia perlu mengerti karakternya sehingga tahu cara menaklukannya. Ia bekerja di dalam gelap maka perlu dilawan dengan terang benderang. Ia bekerja secara tertutup maka perlu dilawan dengan transparansi. Ia bekerja dengan backing maka perlu dilawan dengan penegakan hukum yang kuat.
Selama ini penyelesaian konflik pertanahan dilakukan melalui pengadilan dan internal BPN, namun belum sepenuhnya efektif karena penyelesaiannya lewat ruang tertutup, gelap, sehingga sulit diawasi.
Untuk itu jika ada konflik pertanahan maka perlu dibawa ke ruang terbuka supaya terang benderang. Para pihak terkait beradu data alas dasar hak kepemilikan tanah. Data tersebut dibawa ke pihak ketiga yang independen, kredibel, misalnya, perguruan tinggi.
Bahkan perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Mafia Tanah dan ada lembaga peradilan tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tanah. Di dalamnya ada unsur masyarakat, akademisi, dan praktisi agar ada keberpihakan, transparansi, dan akuntabilitas.
Sekalipun Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Dasar Agraria sudah cukup efektif mengatur mengenai pertanahan dan memiliki semangat untuk menciptakan keadilan di bidang pertanahan, mengutamakan masyarakat ekonomi lemah, dan penataan, penggunaan, pemilikan, serta administrasi pertanahan, namun penegakkannya di lapangan dan peraturan di bawahnya bisa melenceng dari marwah UU tersebut.