Kembalikan Dana Bagi Hasil Kelapa Sawit ke Pangkuan Daerah

- Jumat, 24 Februari 2023 | 22:35 WIB
Kelapa Sawit (Gapki.id)
Kelapa Sawit (Gapki.id)

Watyutink.com – Tuntutan daerah untuk mendapatkan Dana Bagi Hasil (DBH) Sumber Daya Alam yang lebih adil menguat belakangan ini sekalipun sudah terbit Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) yang menjadi payung hukumnya.

Fenomena ini menjadi paradoks karena pada saat UU No 1/2022 terbit, tuntutan daerah atas DBH justru lebih kencang dan berapi-api. Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil, misalnya, menuding pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai iblis atau setan lantaran dia merasa dizolimi.  Daerahnya tidak mendapatkan dana bagi hasil yang layak, padahal tiap hari ribuan barel minyak disedot dari perut buminya.

Dia menghitung berapa banyak migas yang dihasilkan dari daerahnya dibandingkan dengan alokasi DBH oleh pemerintah pusat. Ia mengaku tak pernah menerima rincian penerimaan daerah atas hasil sumber daya alam. Ditambah lagi, DBH yang diterimanya diklaim sangat kecil.

Tak lama berselang, daerah penghasil kelapa sawit yang menjadi komoditas utama ekspor Indonesia juga meminta kejelasan hak mereka atas DBH. Tuntutan ini digaungkan bersamaan dengan peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2023 yang digelar di Provinsi Sumatera Utara sebagai tuan rumah baru-baru ini. Sumatera Utara tercatat sebagai salah satu penghasil kelapa sawit utama di Tanah Air.

Tuntutan atas DBH yang lebih adil bukan tanpa alasan. Daerah menilai selama ini dana lebih banyak ditarik ke pusat, sementara daerah yang menjadi tempat beroperasinya industri kelapa sawit merana karena besar pasak daripada tiang. Lingkungan menjadi rusak tapi tidak cukup dana untuk memperbaikinya.

Sebagai contoh, mengutip keterangan Kepala Badan Keuangan dan Aset Pemprov Sumut Ismael Sinaga, Provinsi Sumatera Utara merupakan daerah penghasil kelapa sawit terbesar kedua setelah Provinsi Riau dengan luas lahan hampir 1,4 juta ha dari luas total nasional sekitar 10 juta ha.  Volume produksinya pada 2021 sekitar 6 juta ton dan mengekspor CPO sebanyak 3,6 juta ton senilai rata-rata 4 miliar dolar AS per tahun (2017-2022).

Perkebunan sawit memiliki peran strategis dalam perekonomian Sumatera Utara dengan sumbangan PDRB pada 2021 sebesar Rp859.870,95 miliar atau 57,57 persen dari seluruh kontribusi sub sektor pertanian atau sebesar 11,87 persen dari total PDRB Sumatera Utara. Nilai bea keluar usaha perkebunan khususnya kelapa sawit yang diperoleh dari 2017 sampai dengan Juni 2022 mencapai Rp6,9 triliun.

Dana sebesar itu seharusnya dapat mengakomodasi perbaikan jalan tidak mantap (jalan rusak) di Provinsi Sumatera Utara. Namun Pemprov Sumut hanya mampu menganggarkan 64 persen dari total kebutuhan dana perbaikan jalan tidak mantap tersebut. Itu pun pekerjaannya dibayarkan secara bertahap. Kabupaten yang memiliki luas lahan dan produksi kelapa sawit diketahui paling banyak memiliki jalan rusak berat yang paling panjang.

Absennya DBH kelapa sawit juga membatasi kemampuan Pemprov Sumut untuk mengatasi kemiskinan yang terjadi di sekitar perkebunan kelapa sawit. Mereka adalah penduduk sekitar yang menjadi buruh tani dengan luasan lahan yang terbatas.

Ismael Sinaga mengungkapkan, tahun depan akan banyak perbaikan jalan yang kondisinya sudah rusak berat. Pemprov juga masih harus mengatasi masalah lain seperti kebakaran hutan, longsor, dan banjir yang sering terjadi di perkebunan sawit.

Daerah lain seperti Provinsi Riau juga berhadap DBH segera cair.  Kepala Badan Pendapatan Daerah Provinsi Riau Syahrial Abdi berpendapat, daerahnya membutuhkan dana bagi hasil kelapa sawit sebagai media untuk mengembangkan kelapa sawit itu sendiri.

Sumbangan kelapa sawit Riau bagi perekonomian nasional cukup besar. Pada 2013 saja dihasilkan sedikitnya Rp6 triliun dari komoditas tersebut. Wajar jika provinsi tersebut mempertanyakan formulasi DBH yang adil yang sesuai dengan kontribusi mereka terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Begitu besar peran daerah melalui lapangan usaha perkebunan kelapa sawit sehingga pantas menjadi pertimbangan pemberian kompensasi bagi daerah penghasil kelapa sawit dengan memasukkan hasil perkebunan kelapa sawit sebagai dana perimbangan.

Dana perimbangan bagi hasil perkebunan kelapa sawit adalah insentif bagi daerah yang memiliki sumberdaya alam yang juga memiliki unsur keadilan. Perkebunan menghilangkan peluang bagi masyarakat daerah untuk mempergunakan lahan. Oleh sebab itu, adil jika masyarakat daerah diberi kompensasi dana perimbangan dari hasil perkebunan.

Kini daerah menunggu formulasi DBH yang adil yang akan dituangkan di dalam Peraturan Pemerintah (PP). Sesuai amanat UU No 1/2022, DPR akan terlibat di dalam penyusunannya. Anggota Komisi XI DPR RI H Gus Irawan Pasaribu yang membidangi masalah ini berjanji akan mengawal masalah dana perimbangan ini.

PP tentang Ketentuan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Perkebunan Sawit diharapkan terbit pada Juli 2023 dan memuat ketetapan perkebunan sawit masuk dalam komponen penerimaan Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai upaya menyempurnakan celah fiskal yang ada dan mendorong pemanfaatan dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan perkebunan kelapa sawit bagi peningkatan kesejahteraan rakyat setempat.

Halaman:

Editor: Sarwani

Tags

Terkini

Teladan Pendiri Bangsa, Standar Etika Politik

Jumat, 26 Mei 2023 | 11:15 WIB

Solusi Lintas Ilmu, Negara, dan Generasi

Minggu, 21 Mei 2023 | 13:00 WIB

Antara Inspeksi dan Introspeksi

Rabu, 10 Mei 2023 | 15:00 WIB

Mencegah Kepunahan Pilar Peradaban

Minggu, 7 Mei 2023 | 11:30 WIB

Buruh Dapat Apa di Hari Buruh?

Jumat, 5 Mei 2023 | 15:02 WIB

Menarilah untuk Bumi dan Manusia

Sabtu, 29 April 2023 | 10:00 WIB

Melawan Hantu Mafia Tanah

Jumat, 17 Februari 2023 | 16:43 WIB

Cak Markenun dan Firaun

Rabu, 18 Januari 2023 | 13:00 WIB

PR Besar Jokowi di Tahun 2023

Selasa, 3 Januari 2023 | 22:01 WIB

Terpopuler

X