Oleh: Bob Randilawe, M.Hum
Pemerhati Ekologi dan Politik/Wakil Ketua Umum GERAKAN BHINNEKA NASIONALIS (GBN) bidang Ideologi.
Isu kemiskinan selalu ramai dalam perbincangan publik, apalagi jelang pilpres ini. Isu kemiskinan bisa menyambar kemana-mana sebagai komoditas politik, bahkan sempat dikaitkan dengan satu satu capres (baca: Ganjar Pranowo, tentang isu kemiskinan di Jateng!). Mengapa kemiskinan sebagai sebuah agenda dan isu, selalu aktual diperbincangkan?
Isu kemiskinan bersifat signifikan. Banyak revolusi sosial di dunia dipicu oleh faktor kemiskinan dengan berbagai variannya. Terakhir di Bangladesh, sampai-sampai istana kepresidenannya “diduduki” rakyatnya akibat kemiskinan yang meluas dan tak tertangani dengan baik.
Menurut BPS (Badan Pusat Statistik) bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan warga dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar berupa makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Penduduk dikategorikan sebagai penduduk miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran per-kapita/bulan di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan bisa terjadi kapan saja, di mana saja, pada era apa saja, bahkan di era milenialisme saat ini pun kemiskinan masih saja tidak hilang.
Sebagian pakar menganggap kemiskinan sebagai sesuatu yang alamiah. Bisa akibat budaya malas yang mengakibatkan rendahnya etos kerja. Atau paradigma kultural tertentu yang menanamkan sikap “hidup apa adanya” sesuai kondisi alam.
Lihat masyarakat adat Baduy atau di Papua pegunungan, misalnya. Mereka relatif damai dan bahagia dalam keterbatasan (menurut kacamata masyarakat modern). Bahkan ada pandangan (agama) yang konservatif menganggap kondisi miskin sebagai “nasib”, takdir yang harus dijalani secara ikhlas dan ridho.
Beragam sebutan akademis pun dipakai untuk mengidentifikasi jenis-jenis kemiskinan. Ada kemiskinan relatif, kemiskinan absolut, kemiskinan struktural, dan kemiskinan kultural.
Kemiskinan dan “Pemiskinan”
Kemiskinan dan pemiskinan adalah dua hal yang berbeda. “Pemiskinan” lebih sebagai konsep politik. Pemiskinan dapat di-identifikasi sebagai kehendak status-quo rezim tertentu dengan menjadikan rakyatnya tetap bodoh dan miskin secara ekonomi dan politik. Pemiskinan menghendaki kekuasaan yang tidak ingin diganggu oleh kedaulatan rakyat. Penegakan hukumnya yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat tapi menghamba pada kepentingan status-quo kekuasaan.
Pada era kolonialisme dan feodalisme, kekuasaan digunakan untuk menindas dan menghisap rakyat. Rakyat dipakai sebagai “tenaga super-murah” bahkan sering dianggap sebagai budak. Kurang lebih seperti itulah praktik “pemiskinan” tersebut.
Pemiskinan era kolonial berlangsung hingga berlakunya politik etis Belanda. Politik etis adalah dibukanya sekolah-sekolah bagi kaum pribumi dan diberikannya pangkat serta jabatan dalam struktur administrasi kolonial bagi "pribumi terdidik" dan patuh.
Politik etis sesungguhnya tidak ditujukan agar rakyat pintar dan merdeka, namun “kebijakan” politis rezim kolonial karena tekanan politik di negeri Belanda sana.
Namun ada berkah tersembunyi dari politik etis kolonialisme, yaitu lahirnya kelompok pribumi terdidik yang revolusioner dan mampu menggalang kekuatan rakyat untuk lepas dari belenggu “pemiskinan” dan penjajahan.