Oleh: YB. Suhartoko, Dr., SE., ME
Dosen Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan, Keuangan dan Perbankan, dan Magister Ekonomi Terapan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta
Kemunculan revolusi industry 4.0 telah mengubah banyak hal di berbagai sektor, yang pada awalnya membutuhkan banyak pekerja untuk menjalankan operasionalnya, sekarang digantikan dengan penggunaan mesin teknologi.
Revolusi Industri 4.0 atau yang sering disebut dengan cyber physical system muncul di abad ke-21 merupakan revolusi yang menitikberatkan pada otomatisasi serta kolaborasi antar teknologi siber. Ciri utamanya adalah penggabungan antara informasi serta teknologi komunikasi ke dalam bidang industri.
Jargon industri 4.0 dicetuskan pertama kali dalam acara World Economic Forum (WEF) tahun 2015 oleh Kanselir Jerman Angela Merkel dan Klaus Schwab “founder” WEF yang meyakini dunia saat ini memasuki industri 4.0. atau sering disebut sebagai Industry Cyber Physical System.
Memasuki era industri 4.0 berarti menghadapi kemajuan dalam bidang teknologi informasi yang menghasilkan potensi disruptive sehingga berdampak besar kepada model bisnis dan pengelolaan industri mulai dari proses produksi sampai dengan dengan distribusi barang ke konsumen.
Schlechtendahl dkk (2015) mendefinisikan revolusi industri yang menekankan pada unsur kecepatan dari ketersediaan sebuah informasi, yaitu sebuah lingkungan industri dimana seluruh entitasnya dapat selalu terhubung serta mampu mengakses berbagai informasi dengan mudah antara satu sama lain.
Untuk menghadapi era industri 4.0, perlu dikaji 6 komponen Driver Production yang meliputi kesiapan teknologi dan inovasi, sumber daya manusia, perdagangan dan investasi global, framework institutional, sustainable resources dan kondisi permintaan.
Kesiapan dan Kondisi Indonesia
Saat ini posisi Indonesia dalam menghadapi era industri 4.0 dianggap berada pada level nascent (bayi baru lahir) yang lemah daya adaptasinya terhadap pada era teknologi 4.0.
Dalam hal kesiapan teknologi dan inovasi berdasarkan data dari Unesco Institute for Statistic belanja research & development (R & D) Indonesia hanya sekitar 0,1 persen dari PDB atau sekitar 2.130,3 miliar dollar AS dengan menggunakan perhitungan PDB pendekatan Paritas Arta Yasa. Belanja R & D di Indonesia 25,68 persen dilakukan oleh sektor bisnis, 39,4 persen oleh pemerintah dan 34,92 persen oleh universitas. Jumlah peneliti juga sangat sedikit sekitar 89 orang per 1 juta penduduk.
Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura yang mengalokasi belanja R&D masing-masing sekitar 1,3 persen dan 2,2 persen dari PDB dan didominasi sektor bisnis.
Artinya dari sisi ini nampaknya jika ingin mengejar ketinggalan dibutuhkan usaha dan kemauan politik yang sangat keras yang dimotori oleh pemerintah sebagai katalisator perubahan dan fasiltator menunjang peningkatan R & D untuk kesiapan teknologi dan inovasi.
R&D World dalam laporannya menuliskan , Indonesia adalah negara dengan rasio penganggaran riset terhadap PDB paling rendah, yang hanya sebesar 0,24 persen saja pada 2022. Rasio pengembangan riset terhadap PDB bervariasi dari satu negara ke negara lain, dengan yang tertinggi 4,8 persen (Israel) hingga yang terendah 0,24 persen (Indonesia) untuk 40 negara pembelanjaan riset teratas,
Menurut OECD, di bidang membaca, sekitar 27 persen siswa Indonesia memiliki tingkat kompentensi 1b, sebuah tingkatan dimana siswa hanya dapat menyelesaikan soal pemahaman teks termudah, seperti memetik sebuah informasi yang dinyatakan secara gamblang, misalnya dari judul sebuah teks sederhana dan umum atau dari daftar sederhana.