Oleh: Lukas Luwarso
Jurnalis Senior, Kolumnis
Watyutink.com - Pada mulanya acara talk show, kemudian meledak soundbite: “kitab suci adalah fiksi, tapi bukan fiktif”. Talk show bertema: “Jokowi-Prabowo Berbalas Pantun” di stasiun TVOne mengundang belasan pembicara, namun cuma statemen menggigit Rocky Gerung (RG) yang bergema menjadi wacana kontroversial. Apa kaitan Jokowi-Prabowo berbalas pantun dengan persepsi fiksi kitab suci, tidak jelas benar.
RG memicu debat pemaknaan istilah fiksi dan fiktif. Sebagai pemikir filsafat, boleh jadi ia menganut filsafat bahasa Humpty Dumpty yang berujar : “When I use a word, it means just what I choose it to mean,” (dalam berkata-kata, terserah saya bagaimana memaknainya).
Humpty Dumpty adalah karakter dalam novel Through the Looking Glass karya Lewis Carrol, sekuel dari Alice in Wonderland, yang menggemari permainan dan teka-teki bahasa. Ia suka mengeksploitasi nuansa kata-kata yang dapat dipahami secara konvensional atau literal. Membedakan kata fiksi dengan fiktif, seolah tidak saling terkait, kata yang satu lebih bermakna dari yang lain, adalah khas filsafat Humpty Dumpty: hobi mengutak-atik semantik.
Polemik semantik fiksi-fiktif ini kemudian memantik persoalan lain: anggapan penistaan atas kitab suci, pengaduan ke polisi, juga perseteruan kubu-kubu politik. Wacana “fiksi” mengusik sensitivitas keagamaan, mengobarkan pertentangan politik, dan memberikan amunisi untuk pertarungan partisan.
Yang lebih problematik dari sekadar polemik semantik trivial ala RG adalah, apa sesungguhnya peran intelektual dan media massa (acara talk-show TV) dalam membangun wacana diskusi yang lebih substantif? Khususnya ketika psike sebagian warga Indonesia akhir-akhir ini sedang didera penyakit: Obsessive Political Disorder Syndrome(OPDS, gejala gangguan terobsesi pada politik)—yang juga mendera beberapa intelektual.
Sebagian intelektual menggunakan—juga digunakan—media massa untuk menyuarakan soundbites: frasa atau kalimat pendek yang menarik dan mudah diingat. Di era politik TV, intelektual (sebagaimana politikus) menjadi gemar merancang soundbites dalam pidatonya untuk mencari perhatian, menarik media agar mengutip dan menayangkan statemen-nya berulang-ulang.
Soundbites selaras dengan karakter dan kebutuhan siaran televisi yang ingin singkat dan harus memikat. Talk-show TV yang berorientasi sensasi cenderung meminta perhatian ketimbang memberikan perhatian. Stasiun TV memerlukan soundbites untuk mengundang kontroversi agar ditonton dan mendapat iklan, ketimbang mengajak penonton untuk serius memikirkan substansi persoalan.
Indonesia Lawyer Club (ILC), yang dipandu Karni Ilyas, dan RG berhasil membangun simbiosis mutualisme dalam menciptakan serangkaian soundbites berseri dalam memancing kontroversi. RG menguasai seni merumuskan soundbites, ILC memerlukan agen untuk mereproduksi wacana sosial dan politik yang catchy dalam upaya menjaring penonton dan mendongkrak rating.
ILC adalah acara talk-show yang unik, mengundang belasan narasumber yang ada di pusaran peristiwa, memilah dalam kubu yang berseberangan untuk unjuk bicara. Lebih mirip forum mimbar bebas ala demonstrasi mahasiswa ketimbang lazimnya talk-show TV.
Dalam hal mengundang sensasi, ILC bisa disejajarkan dengan The Jerry Springer Show yang disiarkan jaringan NBC-TV di Amerika. Talk show ini sangat populer dan dijuluki sebagai “tabloid talk show”, karena secara vulgar membenturkan dua pihak yang berseteru dalam urusan privat (domestik) untuk beradu bicara. ILC adalah The Jerry Springer Show versi Indonesia untuk isu sosial-politik.
Acara talk show yang berkualitas lazimnya mengajak penonton untuk memahami persepektif pembicara yang diundang. Nuansa pembicaraan cenderung bisa diprediksi terkait dengan paradigma (ideologi) pembicaranya dalam melihat persoalan. ILC kerap kontroversial, karena seringkali memunculkan soundbites yang unpredictable. Bagaimana tema politis “Jokowi Prabowo Berbalas Pantun” bisa memicu polemik “kitab suci fiksi--tapi bukan fiktif”? Cuma ILC dan RG yang mampu merumuskan.