Watyutink.com - Pemerintah sudah membangun begitu banyak infrastruktur mulai dari jalan tol, jembatan, jalan nasional, pelabuhan, bandar udara, kereta, hingga bendungan. Masyarakat di sekitar proyek sudah juga merasakan manfaat dari pembangunan tersebut. Aktivitas mereka terbantu menjadi lebih lancar, cepat, singkat, dan produktif.
Sasaran pembangunan infrastruktur tersebut tentu tidak terbatas bagi kepentingan masyarakat lokal. Ada yang lebih strategis dan lebih luas, yakni untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Infrastruktur harus ada untuk mendukung aktivitas dan usaha sehingga tumbuh lebih baik lagi.
Di sisi lain, pemerintah menjadikan infrastruktur sebagai daya tarik investasi. Keluhan investor mengenai kerusakan jalan, kemacetan, lamanya bongkar muat di pelabuhan, dan minimnya akses transportasi diatasi dengan pembangunan infrastruktur. Dengan begitu diharapkan tidak ada lagi keluhan dan kendala yang dihadapi investor terkait dengan infrastruktur.
Tidak cukup dimanjakan dengan infrastruktur, investor juga diberikan insentif melalui 16 paket kebijakan ekonomi. Hal-hal yang termuat di dalam beleid tersebut antara lain pengurangan pajak, pemangkasan mata rantai birokrasi yang panjang, penyederhanaan perizinan dan prosedur, pengurangan waktu pengurusan izin, peluang usaha baru, dan relaksasi daftar negatif investasi.
Sampai di sini pemerintah yakin investor akan datang, investasi naik, daya saing meningkat, peluang kerja terbuka lebar, ekspor meningkat, ekonomi tumbuh tinggi, neraca perdagangan mengalami surplus, dan kurs rupiah stabil. Namun semua yang diharapkan pemerintah tersebut tidak tercapai dengan baik.
Implementasi dari paket kebijakan ekonomi plus infrastruktur anyar ternyata belum dapat menarik investasi. Alih-alih menarik investor, tidak satu pun dari 33 perusahaan China yang melakukan relokasi akibat perang dagang dengan AS masuk ke Indonesia. Usut punya usut masalah mendasar yang menghalangi pemilik modal membenamkan uangnya di sini adalah tumpeng tindihnya undang-undang sehingga membuat investor kebingungan.
Sebagai contoh, ketika ada usulan memperbaiki regulasi di bidang kehutanan maka yang harus direvisi adalah UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Namun, masih ada ganjalan pada aturan lain, yakni UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) atau UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Bagi penyelenggara pemerintahan juga tidak bisa melakukan terobosan untuk mendorong investasi yang kemudian berbenturan dengan peraturan perundang-undangan. Mereka akan terkena kriminalisasi, sehingga banyak pejabat pemerintah yang takut menggunakan diskresi dalam mengambil kebijakan terkait penggunaan anggaran. Jika terbukti merugi, mereka bisa dijerat dengan UU Tipikor.
Semua benang kusut tersebut sedang dicoba diatasi melalui penerbitan omnibus law. Omnibus law adalah UU yang dibuat untuk menyasar satu isu besar yang mungkin dapat mencabut atau mengubah beberapa UU sekaligus sehingga menjadi lebih sederhana.
Pemerintah menegaskan tengah merancang RUU omnibus law yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing dan mendorong investasi. Ada tiga hal yang disasar pemerintah, yakni UU perpajakan, cipta lapangan kerja, dan pemberdayaan UMKM. Melalui RUU tersebut, pemerintah akan merevisi 82 UU yang terdiri dari 1.194 pasal.
RUU omnibus law akan terbagi dalam 11 klaster, yakni penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan berusaha, kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMKM, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah, serta kawasan ekonomi.
Dalam dunia kuliner, omnibus law ini seperti paket komplit yang di dalamnya sudah tersedia karbohidrat, protein, vitamin serta serat. 'Mengkonsumsi' omnibus law bermakna semua kebutuhan nutrisi untuk investasi terpenuhi. Kebijakan lain di luar omnibus law bisa menjadi menu tambahan untuk meningkatkan selera investor.
Sekilas tampaknya mudah dan semua masalah yang mengganjal investasi dan peningkatan daya saing bisa diatasi melalui penerbitan omnibus law. Namun jika dicermati ada potensi moral hazard di dalamnya. Melalui harmonisasi UU, omnibus law dapat menjadi pelindung bagi pejabat yang melakukan inovasi dan kreasi untuk kemajuan ekonomi dan investasi, tetapi bisa jadi disalahgunakan untuk melindungi kepentingan koruptor dan tidak sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi.
RUU omnibus law juga berpotensi memangkas instrumen perlindungan lingkungan hidup dalam kebijakan investasi. Harmonisasi regulasi di bidang kehutanan, misalnya, bisa memperlemah upaya melindungi lingkungan hidup yang diatur dalam UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).