Oleh: Amanda Katili Niode, Ph.D.
Direktur, Climate Reality Indonesia
Watyutink.com - Dari dua tokoh Hollywood peraih Piala Oscar, yaitu sutradara Fisher Stevens serta aktor, aktivis lingkungan dan Utusan Perdamaian PBB, Leonardo DiCaprio, lahir sebuah film dokumenter yang memukau.
“Before the Flood” menyajikan kisah dramatis tentang krisis iklim, juga tindakan yang perlu dilaksanakan oleh individu dan masyarakat agar kehidupan di Planet Bumi tidak terganggu.
Musibah banjir awal tahun yang menimpa Jakarta dan sekitarnya juga terkait dengan krisis iklim, namun kisah nyatanya lebih menyedihkan dari film-film Hollywood.
Bacalah rintihan berbaur semangat di media sosial seorang ibu empat anak yang terdampak:
“Kami aman dan selamat, di pengungsian. Air di dalam rumah sudah setinggi dada orang dewasa. Lingkungan kami, lima RT, habis tersapu banjir.”
“Menyelamatkan diri dari banjir itu satu hal penting, namun menyelamatkan rumah dari lumpur sesudah kebanjiran adalah ujian sesungguhnya.”
“Berharap badai sudah berlalu, waktunya bergerak lagi!”
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memprakirakan, sampai dengan 7 Januari 2019, potensi cuaca ekstrem, curah hujan dengan intensitas lebat yang dapat disertai petir dan angin kencang, dapat terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.
Perubahan iklim akan memperburuk frekuensi, intensitas, dan dampak dari cuaca ekstrem, yaitu peristiwa cuaca yang secara signifikan berbeda dari pola cuaca rata-rata. Sebagai contoh, pada 31 Desember 2019 - 1 Januari 2020, curah hujan di Stasiun Pengamatan Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur, sudah melebihi 150 mm/hari, dan mencapai 377 mm/hari.
Sejak tahun 1950-an kejadian curah hujan ekstrem telah menjadi lebih umum di banyak wilayah di dunia. Para ilmuwan yakin bahwa tren ini akan berlanjut terutama karena Planet Bumi terus memanas.
Curah hujan ekstrem, salah satu pemicu banjir besar di Jakarta, terkait dengan siklus air sebagai fenomena alam, sehingga, sebenarnya, air yang membanjir tidak bisa disalahkan atas musibah yang terjadi.