Oleh: Gigin Praginanto
Pengamat Kebijakan Publik, Wartawan Senior
Watyutink.com - Sekarang ini banyak orang puyeng menghadapi kebijakan pemerintah. Biang keladinya adalah mereka harus merogoh kocek lebih dalam untuk membiayai hidup. Pada saat bersamaan, mereka juga waswas menghadapi kabar tentang PHK yang menggila.
Tahun ini memang sarat dengan kekhawatiran, apalagi ada wabah virus Corona yang sangat mematikan dan merebak ke segala penjuru. Virus ini juga mencekik perekonomian China, yang sudah bertahun-tahun menjadi pasar terbesar bagi komoditas ekspor Indonesia. Komoditas impor oleh Indonesia juga terbesar berasal dari China.
Runyamnya lagi, tahun ini pemerintah makin giat mengumpulkan uang untuk membiayai anggaran belanjanya yang makin gemuk. Alhasil masyarakat harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk BPJS, pajak, cukai, listrik, tol dan lain sebagainya. Maka, nasib mereka ibarat 'sudah jatuh tertimpa tangga'.
Para pakar ekonomi telah mengingatkan bahwa perekonomian Indonesia tahun ini akan melemah akibat faktor internasional dan domestik. Kalau dulu perang dagang China lawan Amerika, yang dianggap sebagai faktor utama, kini virus Corona juga dilihat sebagai biang keladi.
Gelombang PHK pun kian ganas. Setiap orang seolah sedang antri untuk kehilangan pekerjaan. Lihat saja, kini PHK tak hanya melanda industri padat karya, tapi juga padat teknologi seperti Indosat.
Kenyataan ini mengingatkan pada kajian Bank Dunia yang dirilis bulan lalu, sekitar 115 juta orang Indonesia rentan untuk menjadi miskin. Bila hal ini sungguh terjadi, ketegangan bisa makin tak terkendali.
Pada 2015 kajian Bank Dunia juga sudah memperingatkan pemerintah memberi prioritas pada pemerataan. Ketika itu kajian Bank Dunia menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia terkonsentrasi pada 20 persen penduduknya. Kelompok minoritas ini menikmati pertumbuhan penghasilan dan konsumsi jauh lebih cepat dibandingkan yang lain.
Tak kalah memprihatinkan adalah terjadinya kemerosotan demokrasi yang membuat makin banyak orang tertekan karena takut menungkapkan isi hati dan otaknya, terutama bila yang bersangkutan berseberangan dengan penguasa. Mereka bisa ditangkap seperti penjahat lalu dipertontonkan kepada publik oleh berbagai jaringan stasiun TV swasta.
Kasus terakhir yang ramai dibicarakan adalah seorang ibu yang ditangkap, ditahan, dan dipertontonkan kepada publik karena diadukan oleh Pemkot Surabaya ke polisi. Ibu tersebut dituduh meghina Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Kasus Risma bukanlah satu-satunya karena sudah ada orang yang ditangkap karena 'menghina' kepala daerah. Maka tak sulit membayangkan, bila para politisi seperti Risma naik 'pangkat' menjadi Gubernur Jakarta atau bahkan presiden, akan banyak orang yang masuk penjara. Para pejabat pun menjadi seperti para bangsawan zaman baheula yang hanya boleh dipuji-sanjung.
Kemunduran demokrasi di Indonesia sesungguhnya sudah terungkap oleh survei The Economist Intelligence Unit tahun lalu di mana Indonesia berada di peringkat 64 dari 167 negara yang disurvei. Peringkat ini lebih rendah dari Timor Leste, Malaysia, dan Filipina.
Tak kalah menyedihkan, meski nilai demokrasi Indonesia lebih tinggi dari tahun 2018, namun lebih rendah dari 2015. Selain itu, kebebasan sipil memperoleh nilai terendah di antara indikator lainnya.
Di tengah ketidakadilan ekonomi dan meningkatnya ketakutan mengungkapkan pendapat atau kritik, tak mengherankan bila ketegangan sosial meningkat. Apalagi ada kelompok tertentu yang memonopoli kebebasan berpendapat sehingga bisa menyerang termasuk menghina siapa saja yang tidak disukai tanpa taku ditangkap.