Oleh: Al-Zastrouw
Budayawan, Dosen Pasca Sarjana UNSIA Jakarta, Kepala UPT Makara Art Center UI Jakarta
Watyutink.com - Meski hubungan antara pemimpin organisasi bisa rukun dan harnonis, namun pada tingkat akar rumput sutuasinya tidak seharmonis yang diperlihatkan oleh para elite. Kasus pemasangan spanduk penolakan acara Harlah NU di Kauman Yogya merupakan cerminan kesenjangan antara sikap elite organisasi dengan sebagian masyarakat di akar rumput.
Sebagaimana yang tertera dalam spanduk-spanduk yang beredar, penolakan itu dilakukan oleh warga Muhammadiyah Kauman. Warga di sini jelas kelompok grass root, rakyat biasa bukan pengurus dan pimpinan struktural organisasi. Jadi secara formal itu bukan sikap resmi organisasi tapi sikap sebagian warga yang menjadi anggota organisasi tersebut
Sebenarnya hal yang sama pernah terjadi, dalam kasus terbalik. Artinya anggota NU menolak niat baik yang dilakukan oleh pengurus Muhammadiyah. Seperti dikisahkan dalam buku MAS Hikam (2013).
Suatu saat Gus Dur menghadiri acara NU di Lamongan. Untuk menyambut kehadiran Gus Dur, pengurus daerah Muhammadiyah Lamongan membuat spanduk ucapan selamat datang pada Gus Dur. Singkat cerita, atas keberadaan spanduk tersebut, ada anggota banser yang tidak terima kemudian mendatangi sang pemasang spanduk. Dengan sikap garang dan ancaman fisik mereka memaksa agar spanduk diturunkan.
Mendengar kejadian ini Gus Dur memanggil pelaku dan ditanya kenapa berbuat demikian. Dengan bangga anggota Banser tersebut bercerita bahwa Gus Dur adalah Ketua PBNU, milik NU, warga Muhammadiyah tidak berhak mengklaim Gus Dur sebagai pemimpin mereka dengan memasang spanduk ucapan selamat datang. "Ngapain mereka ikut campur acara kita", demikian kata sang Banser menjelaskan dengan bangga.
Mendengar pengakuan ini Gus Dur langsung marah (meski hatinya geli melihat kekonyolan sikap anggota Banser ini). Dengan suara keras Gus Dur memerintahkan sang pelaku untuk menghadap pada pengurus Muhammadiyah. Dia harus minta maaf dan memasang kembali spanduk ucapan selamat datang yang dicopot.
Peristiwa ini mencerminkan adanya perbedaan sikap dan pandangan antara grass root dengan elite. Semangat berorganisasi yang berlebihan dan rasa memiliki terhadap tokoh idola atau simbol organisasi dari grass root kadang menimbulkan respon yang berlebihan, sehingga bisa menimbulkan keretakan di antara mereka. Akibatnya contoh dan teladan baik yang disampaikan para elite kadang tidak tertangkap oleh warga dalam kehidupan nyata.
Di sinilah pentingnya para elite mendidik warganya agar lebih dewasa menyikapi perbedaan dan tenggang rasa mengekspresikan semangat berorganisasi. Dan sikap tersebut dicontohkan oleh Gus Dur. Di sini Gus Dur memahami ada pesepsi yang keliru dari warganya, makanya Gus Dur mendidik mereka agar bersikap proporsional. Dalam kasus ini Gus Dur tidak menekan dan memerintahkan pengurus Muhammadiyah mencopot spanduk demi menghindari konflik dengan warga NU, demi manjaga harmoni, demi ukhuwan Islamiyah dan sebagainya.
Karena yang bersikap tidak dewasa adalah warga NU maka gus Dur mengingatkan dan mendidiknya. Ini adalah sikap yang bijak. Sebagai pemimpin Gua Dur merasa bertanggung jawab untuk melakukan itu. Saya membayangkan jika saat itu Gus Dur meminta pengurus Muhammadiyah mengalah dan mencopot spanduk karena tekanan warga NU yang tidak suka dengan spanduk tersebut, maka itu sama saja dengan membiarkan umat bersikap bodoh dan memelihara keretakan. Karena bagaimanapun pihak Muhammadiyah akan terluka hatinya meski mereka melaksanakan tuntutan tersebut, sementara warga NU akan merasa benar dan menang.
Seorang pemimpin tidak harus mengikuti kehendak dan kemauan warganya. Kalau warganya bersikap salah maka pemimpin harus berani menegur dan mendidiknya, bukan malah mengikuti kemauan warga dengan menekan pihak lain.
Niat baik pengurus NU Kota Yogya menyelenggarakan perayaan Ultah di masjid kauman menurut saya sama dengan niat baik pengurus Muhammadiyah yang memasang spanduk ucapan selamat datang untuk Gus Dur. Respon anggota Banser (warga NU) saat itu sama dengan respon warga Muhammadiyah Kauman yang pasang spanduk penolakan.
Sayangnya respon para pemimpin berbeda. Gus Dur lebih memilih menjadikan peristiwa tersebut sebagai momentum untuk nendidik warganya, dan membela pengurus Muhammadiyah yang punya niat baik. Sementara sebagian pengurus Muhammadiyah Yogya (terutama Pemuda Muhammadiyah) memilih membela warganya dan menyuruh NU untuk pindah tempat acara.
Ibaratnya ketika dalam rumah ada anak kecil yang nakal terhadap tetangga dan saudara yang mau nimbrung atau bikin acara di rumahnya, maka Gus Dur menasehati agar si anak menerima dengan lapang dada dan tetap mempersilahkan nimbrung. Tapi dalam kasus spanduk Yogya justru tamunya yang disuruh pindah demi menjaga kenyaman dan perasaan sang anak yang merasa terganggu