Aspirasi Politisi Naik Gaji

- Jumat, 4 Desember 2020 | 16:45 WIB
Ilustrasi muid/watyutink.com
Ilustrasi muid/watyutink.com

Oleh: Lukas Luwarso
Jurnalis Senior, Kolumnis

Watyutink.com - Dulu ada pameo, sukses menjadi pengusaha kaya raya adalah cara termudah berpolitik. Kini pameo itu terbalik: sukses berpolitik adalah cara termudah menjadi kaya raya tanpa perlu menjadi pengusaha. Dalam kultur politik oligarkis, ketika partai politik begitu hegemonik menentukan urusan politik dan kultur civil society tidak berkembang, maka menjamurnya pengusaha politik; dan politisi sebagai “karir usaha” sangat diminati.

Dengan situasi seperti itu, tidak aneh jika beberapa hari ini jagad media diramaikan informasi anggota DPRD DKI Jakarta usul menaikan gaji dan tunjangan mereka. Usaha mereka mengusulkan kenaikan pendapatan menjadi Rp8,38 miliar, per tahun pada 2021, adalah “kerja keras” setahun terakhir. Masing-masing anggota DPRD DKI Jakarta akan memiliki gaji dan pendapatan sebesar Rp698,6 juta per bulan.

Usulan genius pada diri mereka sendiri ini memiliki dua alasan, pertama, sudah tiga tahun gaji dan tunjangan mereka tidak pernah “disesuaikan”. Kedua, secara persentase besaran gaji dan pendapatan mereka masih kecil dibanding jumlah APBD DKI Jakarta yang sangat besar.

Tentu usulan ini bisa dipahami mengingat politik di Indonesia yang berbiaya tinggi. Politisi perlu segera mendapat ganti untung atas biaya yang telah mereka keluarkan selama proses mengikuti pemilu. Karena terjun menjadi politikus adalah semacam investasi bisnis yang, jika terpilih, sangat menguntungkan. Politik telah menjadi usaha bisnis bagi mereka yang tidak memiliki keuletan dan ogah bekerja keras.

Segera warga DKI Jakarta mempersoalkan manuver “wakilnya” ini. Warga jengkel dengan sikap politikus yang berupaya mencari untung di tengah situasi pandemi Covid-19. Banyak orang kehilangan pekerjaan dan tidak memiliki pendapatan dan lebih mendesak perlu bantuan, tapi politikus justru sibuk mencari tambahan pendapatan dari anggaran milik rakyat. Sejumlah warga membuat petisi “Kami Tidak Rela”, menyampaikan keberatan uang pajak mereka dipakai untuk memperkaya diri para politikus.

Masalahnya, bagaimana memastikan ketidak-relaan warga itu bisa efektif mencegah para politisi bisa berpesta-pora menggunakan dana APBD? Mereka umumnya satu suara jika terkait dengan soal anggaran yang bisa menguntungkan diri mereka. Tinggal persetujuan Gubernur DKI yang mereka perlukan untuk mengesahkan usulan itu. Dan sepertinya persetujuan itu akan mudah didapat. Tidak akan ada “oposisi” untuk urusan memperkaya diri.

Lazimnya politik bukanlah profesi pekerjaan atau “karir” yang mendapatkan remunerasi sebagaimana para pekerja profesional. Profesi adalah pekerjaan berbayar, yang memerlukan keahlian spesifik—hasil dari pendidikan formal dan pelatihan spesifik. Di balik istilah profesi ada indikasi adanya kemampuan kompetensi, dan oleh karena itu orang mendapat bayaran berbasis pada kemampuannya. 

Profesi sering dibedakan dengan urusan yang bersifat hobi atau minat, yang bisa dilakukan oleh siapapun, para amatir. Menjadi politikus mustinya bukanlah profesi atau karir, karena bersifat aktivitas ideologis dan lebih sebagai aktualisasi diri.

Namun, kisah orang terjun ke politik sebagai minat atau aktualisasi diri adalah kisah masa lalu. Berpolitik (dulu) biasanya tidak mendapatkan bayaran. Bahkan orang harus rela meluangkan waktu, tenaga, dan keluar biaya untuk aktivitas politik. 

Menjadi politisi, dulu, adalah kerja sampingan, kerja sukarelawan. Orang musti memiliki profesi lain, sebagai sumber nafkah, agar bisa terjun ke politik secara leluasa dan kehidupan privatnya tidak bergantung pada aktivitas politik. Saat itu, ketika politik merupakan kegiatan untuk mengaktualitasikan gagasan ideal dan kerja-kerja pengabdian untuk kemasyarakatan.

Namun, situasi telah berubah. Politik semakin menjauh dari urusan publik, cenderung menjadi urusan stabilitas urusan domestik—soal kepentingan keluarga dan pertemanan. Politik bagi sebagian orang adalah wilayah privat, sebagai karir full-time job yang harus dipertahankan sepenuh jiwa raga. Tidak mengherankan, karena menjadi politisi ternyata menjanjikan bukan saja kestabilan pendapatan, namun juga kelimpahan kekayaan. Politisi menjadi profesi idaman.

Di era politik saat ini, politik tidak lagi terkait dengan urusan rakyat dan aspirasi warga, melainkan urusan dan aspirasi partai. Politik bukan lagi seni menyuarakan aspirasi rakyat, melainkan seni ber-sluman-slumun-slamet. Mampu menghayati seni kepatuhan, ketundukan, dan pengabdian—pada penguasa partai. Karena partai-lah yang akan menjamin kelancaran dan keberlanjutan karir sebagai “politisi profesional”. Loyalitas pada penguasa partai adalah seni yang perlu dikuasai.

Khususnya dalam politik yang bernuansa oligarkis, ketika penguasa partai adalah penentu segala hal (bukannya ideologi, platform, atau program). Politik oligarkis tereduksi menjadi soal urusan bisnis bagaimana mempertahankan atau mengganti kekuasaan belaka. Politik menjadi bisnis kekuasaan, alih-alih seni-mengelola aspirasi publik. Politik adalah pekerjaan, karir yang perlu dijaga dalam perusahaan bernama “partai politik.”

Halaman:

Editor: Admin

Tags

Terkini

Teladan Pendiri Bangsa, Standar Etika Politik

Jumat, 26 Mei 2023 | 11:15 WIB

Solusi Lintas Ilmu, Negara, dan Generasi

Minggu, 21 Mei 2023 | 13:00 WIB

Antara Inspeksi dan Introspeksi

Rabu, 10 Mei 2023 | 15:00 WIB

Mencegah Kepunahan Pilar Peradaban

Minggu, 7 Mei 2023 | 11:30 WIB

Buruh Dapat Apa di Hari Buruh?

Jumat, 5 Mei 2023 | 15:02 WIB

Menarilah untuk Bumi dan Manusia

Sabtu, 29 April 2023 | 10:00 WIB

Melawan Hantu Mafia Tanah

Jumat, 17 Februari 2023 | 16:43 WIB

Cak Markenun dan Firaun

Rabu, 18 Januari 2023 | 13:00 WIB

PR Besar Jokowi di Tahun 2023

Selasa, 3 Januari 2023 | 22:01 WIB

Terpopuler

X