Belajar Nasionalisme dari Pemimpin Malaysia

- Senin, 25 Januari 2021 | 14:00 WIB
Ilustrasi muid/watyutink.com
Ilustrasi muid/watyutink.com

Oleh: Erros Djarot
Budayawan

Watyutink.com - Pada saat krisis ekonomi melanda negara-negara ASEAN, 1998, saya sempat mengagumi seorang Mahathir Mohamad, Perdana Menteri Malaysia saat itu. Kekaguman saya tertuju atas sikapnya yang tidak mau terperangkap dalam cumbu rayu International Monetary Fund (IMF). Ia selesaikan permasalahan krisis ekonomi yang melanda negerinya dengan cara yang ia yakini terbaik untuk masa depan bangsa dan negerinya. Diyakininya bahwa hanya bangsanya sendirilah yang akan dengan tulus mau berjuang menyelamatkan negerinya. Bukan percaya pada janji dan bantuan bangsa lain yang sejak dulu dikenal sangat bernafsu besar menjajah negera-negara di Asia. Dengan prinsip mandiri dan berdilkari, ia berhasil membawa Malaysia ke luar dari krisis moneter 1998 dengan hasil yang membanggakan. Sehingga ia pun dihujani puja-puji berikut julukan sebagai Soekarno kecil dari Asia tenggara.

Belakangan ini, mendadak saya pun mengagumi seorang Ibrahim Ismail, Sultan Johor, Malaysia, 62 tahun, atas sikapnya yang tegas menyatakan dirinya adalah putra Melayu yang bangga akan dirinya sebagai bangsa Melayu. Ia ingin menjalankan hidup sebagai orang Melayu dengan segala kebudayaan yang sejak kecil dalam nilai-nilai budaya Melayu inilah ia dibesarkan, tumbuh, dan ditempa menjadi manusia Melayu. Bahkan lewat pernyataan terbuka ia bangga akan keberadaannya sebagai putra dan bangsa Melayu. Bukan dengan semangat Chauvinistik tapi lebih dalam aroma Nasionalisme yang humanis.

Sultan Johor sebagai pemeluk agama Islam yang taat, dalam kedudukannya sebagai Sultan, ia pun menjadi pemimpin umat Islam dan tentunya juga pemimpin dari segala umat pemeluk agama lainnya yang tinggal di daerah kekuasaannya, Johor, negara bagian selatan semenanjung Malaysia. Sebagai bangsa Melayu yang dalam kesejarahannya selalu menjalankan kehidupan bermasyarakat dengan toleransi yang tinggi terhadap perbedaan ras, suku, dan agama yang eksis dalam kehidupan bangsa Melayu. ia pun telah menjadi bagian dari budaya kehidupan yang menjunjung tinggi nilai tersebut, toleransi dalam kerangka humanisme, dan local wisdom.

Amatan dan perhatian saya tertuju padanya ketika saya menerima kiriman postingan dari seorang teman yang kebetulan sempat tinggal di sana beberapa bulan terakhir ini. Saya sangat kaget ketika membaca sejumlah pernyataan sikap politik Sultan Johor yang konsisten selama bertahun-rahun. Terutama sikap politik kepemimpinannya menanggapi situasi yang berkembang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di masyarakat yang ia pimpin. Sebagai seorang pemimpin ia memahami benar arti tanggung jawab untuk menumbuhkembangkan Johor dan warganya ke arah sebagaimana yang diinginkan para pendiri Johor sebagai komunitas bangsa Melayu. Ia dengan jelas dan tegas memberikan arah dan garis politik kebudayaannya sebagai pemimpin.

Ketika dirinya mulai mencium bahwa sikap intoleran mulai menggejala ingin ditumbuhkembangkan oleh kelompok tertentu yang mengatasnamakan kelompok mayoritas, dengan tegas dan berani ia menyatakan sikapnya. Ketika sejumlah komunitas Muslim di sana mulai melakukan diskriminasi terhadap aktivitas dan pewarnaan kehidupan berdasarkan pendekatan syariat Islam yang dipersempit, Sultan Johor pun bersuara tegas dan lantang menentangnya. Terutama terhadap kelompok yang ingin menjejalkan budaya arab kepada masyarakat bangsa Melayu atas nama kewajiban menaati ajaran agama seara secara murni dan konsekuen. Suatu gerakan yang kental akan warna gerakan kaum Wahabi.

Dengan berani, kepada mereka ditegaskannya bawa Malaysia bukan negara Taliban. Bahkan penggunaan bahasa Arab tidak diberinya ruang untuk secara aktif menggerus eksistensi bahasa Melayu sebagai bahasa ibu rakyat Malaysia dalam berkomunikasi.

Satu pernyataan yang menarik darinya adalah pemahamannya tentang agama dan budaya seputar Islam, Arab, dan agama. Ia menyitir dan menyatakan bahwa Allah SWT menciptakan manusia berbangsa dan bersuku yang termulia di hadapan Tuhan bukan orang Arab semata, tapi mereka yang paling bertakwa. Dan ditegaskan bahwa budaya Arab dan Islam dua hal yang berbeda. 

Ia menyerukan agar warganya tetap mempertahankan nilai dan praktik budaya Melayu dalam kehidupan sehari-hari rakyatnya. Jangan menggantikan bahasa komunikasi dan ekspresi mereka dengan serba arab oriented. Dan kepada mereka yang masih mempertahankan praktik Arabisasi dalam budaya kehidupan keseharian mereka, dipersilahkan untuk meninggalkan Johor dan hidup di jazirah Arab.

Dari sikap dan garis politik kebudayaan sang Sultan ini, saya jadi teringat pesan Bung Karno kepada rakyat Indonesia. Bung Karno menyerukan agar ketika ingin menjadi Islam yang taat dan baik, tidak perlu menjadi Arab. Tetaplah menjadi orang Indonesia dengan kebudayaan dan kepribadiannya yang bertakwa penuh kepada Allah SWT. Agaknya hal itulah yang Sultan Johar lakukan dan anjurkan kepada rakat yang ia pimpin.

Menuliskan kembali dan merenungkan kedua tokoh rakyat Malaysia ini, hati hanya mampu tertunduk pedih. Mengapa justru mereka yang memahami, menjiwai, dan mempraktikkan pemikiran dan sikap politik Bung Karno. Kenapa justru para pemimpin Indonesia malah berada di jalur pemikiran dan sikap politik yang selalu lebih memilih posisi sebagai ekor (pengekor) pola pikir dan sikap yang justru lebih membanggakan produk dan pola pikir-budaya impor?

Pembiaran terhadab Arabisasi yang kian nyata di satu sisi, dan perilaku bebas nilai ala barat yang terus meluas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, di sisi lain, merupakan bukti nyata kebutaan mereka tentang pentingnya Nation and character building!

Dengan realita pahit yang demikian, sejak semangat reformasi dikumandangkan hingga sekarang yang kehilangan marwahnya, semakin saja memperbesar kerinduan akan hadirnya seorang pemimpin bangsa Indonesia yang berkarakter, bekepribadian, dan berbudaya. Seorang pemimpin yang paham betul akan tugas menerjemahkan dan mengejawantahkan amanat Pembukaan UUD’45 dalam praktik kehidupan berbanga dan bernegara!

Bisa dimulai dengan memaksimalisasi peran pejabat negara yang membidangi kebudayaan. Memberikan posisi Menteri Kebudayaan kepada alamat yang salah dan tetap mendiamkan terus berjalan, hanya menggiring ke satu kesimpulan; jangan-jangan yang menunjuklah yang tak paham apa itu kebudayaan. Sementara kebudayaan adalah pusarnya kehidupan. Ya celakalah jadinya.

Halaman:

Editor: Admin

Tags

Terkini

Teladan Pendiri Bangsa, Standar Etika Politik

Jumat, 26 Mei 2023 | 11:15 WIB

Solusi Lintas Ilmu, Negara, dan Generasi

Minggu, 21 Mei 2023 | 13:00 WIB

Antara Inspeksi dan Introspeksi

Rabu, 10 Mei 2023 | 15:00 WIB

Mencegah Kepunahan Pilar Peradaban

Minggu, 7 Mei 2023 | 11:30 WIB

Buruh Dapat Apa di Hari Buruh?

Jumat, 5 Mei 2023 | 15:02 WIB

Menarilah untuk Bumi dan Manusia

Sabtu, 29 April 2023 | 10:00 WIB

Melawan Hantu Mafia Tanah

Jumat, 17 Februari 2023 | 16:43 WIB

Cak Markenun dan Firaun

Rabu, 18 Januari 2023 | 13:00 WIB

PR Besar Jokowi di Tahun 2023

Selasa, 3 Januari 2023 | 22:01 WIB

Terpopuler

X