2 Tahun Jokowi: Distorsi Pembangunan Ekonomi

- Kamis, 21 Oktober 2021 | 18:30 WIB
Ilustrasi muid/watyutink.com
Ilustrasi muid/watyutink.com

Watyutink.com – Sejumlah Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) diserbu penduduk sekitar baru-baru ini. Pemandangan tak biasa ini berkaitan dengan target Presiden Joko Widodo agar 270 juta vaksin Covid-19 selesai disuntikkan hingga akhir tahun ini.

Tak hanya Puskesmas yang ramai. Balai kecamatan, kelurahan, RT/RW juga juga ramai dikunjungi masyarakat. Petugas kesehatan tampak mondar-mandir membawa logistik untuk didrop di tempat-tempat penyuntikkan vaksin. Kegiatan mereka semakin padat berkaitan dengan target vaksinasi tersebut.

Percepatan vaksinasi tersebut tak lepas dari upaya untuk segera menggerakkan ekonomi yang terpukul oleh pandemi Covid-19. Bidang-bidang yang menjadi prioritas untuk digerakkan adalah sektor perdagangan, turisme, dan investasi.

Presiden berpesan agar jangan terlambat menggerakkan tiga sektor tersebut, namun dengan catatan kesehatan tetap nomor satu. Setelah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang sudah berjalan berjilid-jilid dan berhasil menekan tingkat penularan baru Covid-19 dan kematian, vaksinasi menjadi prioritas setelah semua sektor mulai dibuka pembatasannnya.

Presiden tampaknya tidak ingin ekonomi jalan di tempat. Dia mulai mendengarkan desakan para ahli epidemologi dan ekonom agar melakukan lock down untuk mengendalikan pandemi, karena di situlah kunci untuk memulihkan ekonomi, sehingga lahirlah kebijakan PPKM. Selama pandemi masih tinggi, tidak ada kepercayaan investor maupun masyarakat untuk membelanjakan dananya.

Covid-19 tidak hanya mengancam kesehatan dan keselamatan masyarakat, tetapi juga berdampak negatif bagi perekonomian nasional. Virus corona yang mampu menular antar manusia membuat aktivitas masyarakat terpaksa harus disetop untuk mencegah agar penularannya tidak meluas. Namun, sebagai konsekuensinya, aktivitas ekonomi ikut terhambat dan mengalami kelesuan.

Selama dua tahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf, Covid-19 memang menjadi ujian terberat. Pemerintah tergagap-gagap menangani virus ini pada awal merebaknya. Inkonsistensi terjadi di lapangan, menimbulkan pandemi gelombang kedua yang hampir membuat sistem kesehatan di sejumlah daerah lumpuh. Kini penanganan virus corona sudah mulai berjalan dalam trek yang benar.

Sayangnya, nilai plus dalam menangani pandemi tercoreng oleh kebijakan ekonomi lain, menyangkut pengelolaan APBN. Keputusan Jokowi mengizinkan penggunaan APBN untuk menyelesaikan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung membahayakan keuangan negara dalam jangka panjang.

Konsorsium yang membangun proyek infrastruktur itu mengaku keuangan mereka macet didera pandemi Covid-19. Jokowi meresponnya dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021, yang merupakan perubahan atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015, tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung.

Perpres yang baru itu mengubah sejumlah ketentuan, di antaranya pendanaan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung memakai dana APBN, dari sebelumnya tidak dibolehkan. Konsekuensinya, dana pembangunan untuk proyek lain akan tersedot demi jalur kereta yang memperkuat citra pembangunan yang berpusat di Jawa (Jawa centris) ini.

Keputusan mendanai pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung juga menimbulkan konsekuensi meningkatnya risiko utang. Beban terhadap utang pemerintah meningkat secara langsung maupun tidak langsung.

Pemerintah menanggung risiko kontijensi sekalipun konsorsium yang menerbitkan utang. Ketika BUMN yang membangun proyek tersebut mengalami tekanan akan berakibat pada neraca anggaran pemerintah.

Proyek yang secara studi kelayakan bermasalah berakibat pada membengkaknya biaya. Pemerintah turun tangan menalangi pembiayaannya dengan menggunakan dana APBN. Penerimaan pajak dari rakyat pun tersedot ke situ dan utang ikut membesar sehingga menimbulkan jebakan utang (debt trap).   

Utang yang meningkat akan membebani dan membahayakan APBN dalam jangka panjang, apalagi target defisit anggaran masih berada di kisaran 4,85 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun depan, sehingga  pemerintah  harus menanggung pembayaran bunga utang sebesar Rp 405 triliun.

Halaman:

Editor: Sarwani

Terkini

Teladan Pendiri Bangsa, Standar Etika Politik

Jumat, 26 Mei 2023 | 11:15 WIB

Solusi Lintas Ilmu, Negara, dan Generasi

Minggu, 21 Mei 2023 | 13:00 WIB

Antara Inspeksi dan Introspeksi

Rabu, 10 Mei 2023 | 15:00 WIB

Mencegah Kepunahan Pilar Peradaban

Minggu, 7 Mei 2023 | 11:30 WIB

Buruh Dapat Apa di Hari Buruh?

Jumat, 5 Mei 2023 | 15:02 WIB

Menarilah untuk Bumi dan Manusia

Sabtu, 29 April 2023 | 10:00 WIB

Melawan Hantu Mafia Tanah

Jumat, 17 Februari 2023 | 16:43 WIB

Cak Markenun dan Firaun

Rabu, 18 Januari 2023 | 13:00 WIB

PR Besar Jokowi di Tahun 2023

Selasa, 3 Januari 2023 | 22:01 WIB

Terpopuler

X