Oleh: Anthony Budiawan
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
Watyutink.com - Covid-19 merupakan bencana dunia. Tetapi, bisa menjadi “berkah” bagi orang-orang tertentu. Antara lain, orang-orang yang berbisnis tes covid-19.
Mereka bisa meraup untung sangat besar. Karena difasilitasi kebijakan negara. Seperti kebijakan harga tes covid-19 yang tinggi, serta kebijakan wajib tes covid-19 bagi masyarakat yang ingin bepergian.
Di lain pihak, bisnis pandemi tes PCR ini berpotensi melanggar undang-undang (UU) dan Undang-Undang Dasar (UUD). Alasannya sebagai berikut:
Pertama, tes covid-19 termasuk cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Sehingga, menurut Pasal 33 UUD, harus dikuasai oleh negara. Setuju?
Tetapi, realitanya tes PCR dikuasai oleh swasta. Ini potensi pelanggaran pertama.
Kedua, harga barang untuk hajat hidup orang banyak, meskipun dikuasai negara, harus diatur oleh negara. Tujuannya untuk melindungi masyarakat dan konsumen. Penetapan harga monopoli tersebut harus menggunakan formula perhitungan secara transparan. Contohnya seperti perhitungan tarif listrik, harga BBM atau tarif transportasi pubik. Serta mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bila perlu.
Faktanya, harga tes covid-19 tidak diatur sama sekali, setidak-tidaknya sampai pertengahan Agustus 2021. Sehingga membuat harga tes covid-19 menjadi sangat mahal, memberi keuntungan abnormal kepada pengusaha kartel, serta terindikasi melanggar UU Anti-monopoli.
Masyarakat protes. Namun, pemerintah tetap bungkam hingga 15 Agustus 2021. Presiden Jokowi akhirnya bereaksi, minta pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, menurunkan harga tes covid-19.