Watyutink.com – Di tengah meningkatnya harga-harga pangan dan bahan kebutuhan pokok, apakah terselip pertanyaan di dalam hati presiden, menteri, atau pejabat, makan apa rakyat hari ini? Kenaikan harga-harga telah membuat rakyat kecil sulit memenuhi kebutuhan esensialnya, makanan, agar tetap sehat dan produktif bekerja.
Belum selesai drama minyak goreng, rakyat harus berjibaku dengan kenaikan sejumlah harga bahan kebutuhan pokok yang mencekik leher. Para pedagang sulit menjual barang dagangannya karena harga yang terlalu tinggi, marginnya tergerus. Sementara konsumen harus mengencangkan ikat pinggang, mengurangi konsumsi sekuat-kuatnya agar dapat bertahan hidup.
Pemerintah mengklaim sudah berusaha menekan kenaikan harga. Untuk minyak goreng, misalnya, sejumlah kebijakan dikeluarkan seperti patokan Harga Eceran Tertinggi (HET), kewajiban menyisihkan hasil produksi untuk pasar domestik (DMO), dan penetapan harga domestik (DPO). Instrumen untuk menjalankan dan mengawasi kebijakan tersebut juga ada. Namun semuanya mandul. Harga minyak goreng hanya turun sebentar, lalu melejit lagi. Pemerintah bertekuk lutut di hadapan mafia.
Begitu juga harga kedelai yang masih tinggi berimbas ke produksi tahu dan tempe. Tempe ukuran 15x13 cm dengan tebal 2 cm dijual seharga Rp6.000. Dengan ukuran semini itu, tempe tersebut hanya bisa dibagi delapan. Jika warung makan menjualnya seharga Rp1.000 per potong, mereka hanya mendapatkan selisih Rp2.000, belum memperhitungkan biaya minyak goreng dan bumbu-bumbu yang dibutuhkan.
Bagi pedagang kecil seperti penjual gorengan, hampir semua bahan yang dibutuhkan untuk berjualan naik. Minyak goreng yang sempat menghilang beberapa waktu, muncul dengan harga tinggi. Minyak goreng curah dibandrol Rp20.000 per kg. Begitu juga terigu, dari Rp7.000 menjadi Rp8.500 per kg.
Kenaikan harga komoditas tersebut menggerus margin pedagang makanan hingga hampir separuhnya, satu penurunan yang cukup signifikan. Mereka terpaksa mengorbankan margin keuntungan dengan tidak menaikkan harga atau memperkecil ukuran barang demi tak kehilangan pelanggan.
Para pedagang merasakan tahun ini merupakan tahun tersulit dalam 15 tahun terakhir. Berawal dari kenaikan harga kedelai yang memaksa produsen tahu tempe berhenti berproduksi untuk menghindari kerugian, disusul kenaikan harga minyak goreng dengan durasi waktu kenaikan yang cukup panjang, ditambah lagi melonjaknya harga cabai, bawang putih secara serempak. Harga-harga ini bisa jadi akan naik lagi menjelang puasa karena naiknya permintaan dan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi sebesar 11 persen.
Kenaikan harga yang berbarengan tersebut mengurangi jumlah komoditas yang dibeli pedagang dan pada saat yang bersamaan sulit menjual karena konsumen menghindari harga tinggi. Akibatnya, omzet pedagang anjlok hingga 32 persen.
Tidak dapat dipungkiri kenaikan harga di Tanah Air dipengaruhi oleh kenaikan harga pangan di tingkat global. Beberapa komoditas seperti sapi bakalan, jagung, gula, dan kedelai naik rata-rata sekitar 90 persen, kecuali gula yang ‘hanya’ di kisarah 50 persen.