• Senin, 25 September 2023

Harga Pangan Melangit, Rakyat Terhimpit

- Jumat, 25 Maret 2022 | 14:30 WIB
ilustrasi muid/watyutink.com
ilustrasi muid/watyutink.com

Watyutink.com – Di tengah meningkatnya harga-harga pangan dan bahan kebutuhan pokok, apakah terselip pertanyaan di dalam hati presiden, menteri, atau pejabat, makan apa rakyat hari ini?  Kenaikan harga-harga telah membuat rakyat kecil sulit memenuhi kebutuhan esensialnya, makanan, agar tetap sehat dan produktif bekerja.

Belum selesai drama minyak goreng, rakyat harus berjibaku dengan kenaikan sejumlah harga bahan kebutuhan pokok yang mencekik leher. Para pedagang sulit menjual barang dagangannya karena harga yang terlalu tinggi, marginnya tergerus. Sementara konsumen harus mengencangkan ikat pinggang, mengurangi konsumsi sekuat-kuatnya agar dapat bertahan hidup.

Pemerintah mengklaim sudah berusaha menekan kenaikan harga. Untuk minyak goreng, misalnya, sejumlah kebijakan dikeluarkan seperti patokan Harga Eceran Tertinggi (HET), kewajiban menyisihkan hasil produksi untuk pasar domestik (DMO), dan penetapan harga domestik (DPO). Instrumen untuk menjalankan dan mengawasi kebijakan tersebut juga ada. Namun semuanya mandul. Harga minyak goreng hanya turun sebentar, lalu melejit lagi. Pemerintah bertekuk lutut di hadapan mafia.

Begitu juga harga kedelai yang masih tinggi berimbas ke produksi tahu dan tempe. Tempe ukuran 15x13 cm dengan tebal 2 cm dijual seharga Rp6.000. Dengan ukuran semini itu, tempe tersebut hanya bisa dibagi delapan. Jika warung makan menjualnya seharga Rp1.000 per potong, mereka hanya mendapatkan selisih Rp2.000, belum memperhitungkan biaya minyak goreng dan bumbu-bumbu yang dibutuhkan.

Bagi pedagang kecil seperti penjual gorengan, hampir semua bahan yang dibutuhkan untuk berjualan naik. Minyak goreng yang sempat menghilang beberapa waktu, muncul dengan harga tinggi. Minyak goreng curah dibandrol Rp20.000 per kg. Begitu juga terigu, dari Rp7.000 menjadi Rp8.500 per kg.

Kenaikan harga komoditas tersebut menggerus margin pedagang makanan hingga hampir separuhnya, satu penurunan yang cukup signifikan.  Mereka terpaksa mengorbankan margin keuntungan dengan tidak menaikkan harga atau memperkecil ukuran barang demi tak kehilangan pelanggan.

Para pedagang merasakan tahun ini merupakan tahun tersulit dalam 15 tahun terakhir. Berawal dari kenaikan harga kedelai yang memaksa produsen tahu tempe berhenti berproduksi untuk menghindari kerugian, disusul kenaikan harga minyak goreng dengan durasi waktu kenaikan yang cukup panjang, ditambah lagi melonjaknya harga cabai, bawang putih secara serempak. Harga-harga ini bisa jadi akan naik lagi menjelang puasa karena naiknya permintaan dan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi sebesar 11 persen.

Kenaikan harga yang berbarengan tersebut mengurangi jumlah komoditas yang dibeli pedagang dan pada saat yang bersamaan sulit menjual karena konsumen menghindari harga tinggi. Akibatnya, omzet pedagang anjlok hingga 32 persen.

Tidak dapat dipungkiri kenaikan harga di Tanah Air dipengaruhi oleh kenaikan harga pangan di tingkat global. Beberapa komoditas seperti sapi bakalan, jagung, gula, dan kedelai naik rata-rata sekitar 90 persen, kecuali gula yang ‘hanya’ di kisarah 50 persen.

Bagi ibu-ibu rumah tangga, kenaikan harga bahan-bahan pokok menggerus kocek mereka. Jika sebelumnya membawa uang Rp50.000 untuk berbelanja cukup banyak yang dibawa pulang, kini hanya secukupnya.

Satu keluarga dengan tiga anak akan sulit memenuhi kebutuhan konsumsinya dengan Rp50.000. Mari kita hitung. Kebutuhan untuk satu hari beras sebanyak 1,5 liter seharga Rp15.000, minyak goreng seperempat liter Rp5.000, sayuran Rp5.000, tahu dan tempe Rp12.000. Sisanya untuk bahan pelengkap seperti terigu dan bumbu yang terdiri dari bawang merah, bawang putih, cabai, jahe, kunyit, lengkuas, sereh, daun salam, dan lain-lain. Dengan uang segitu, menu yang didapat hanya nasi, sayur plus tahu dan tempe.

Siklus kenaikan harga pangan ini terjadi dalam beberapa fase. Fase pertama terjadi pada H-7 hingga H-3 menjelang puasa. Fase kedua pada H-7 hingga H-3 menjelang Lebaran, pada fase ketiga setelah Lebaran. Hal ini terjadi setiap tahun tanpa ada solusi.

Dari data yang ada sebenarnya pemerintah dapat mengantisipasi kebutuhan bahan pokok yang sifatnya musiman (seasonal) yang biasa terjadi setiap tahun dengan memobilisasi produksi dan mengamankan stok supaya harganya tidak naik signifikan, dan menjamin kelancaran distribusi.

Pemerintah juga perlu meredam dampak dari gejolak eksternal ekonomi global seperti kenaikan harga sejumlah komoditas antara lain kedelai, jagung, gula, dan sapi bakalan, kepada ekonomi dalam negeri yang sudah tertekan, terutama bagi masyarakat menengah bawah yang sudah sangat terbebani akibat kenaikan sejumlah harga bahan pokok.

Halaman:

Editor: Sarwani

Tags

Terkini

Politik Dinasti, Racun Peradaban Politik Nasional

Senin, 11 September 2023 | 16:57 WIB

Politik Sirkus Para Pencuri Perhatian

Selasa, 5 September 2023 | 18:39 WIB

2024, NO Jokowi, NO Kemenangan?

Kamis, 31 Agustus 2023 | 07:54 WIB

Tantangan Indonesia Hadapi Era Industri 4.0

Rabu, 9 Agustus 2023 | 19:00 WIB

Idul Adha Melahirkan Manusia Terbaik

Jumat, 30 Juni 2023 | 20:14 WIB

Piagam Jakarta dan Kearifan Bangsa Indonesia

Kamis, 22 Juni 2023 | 16:00 WIB

Kemiskinan Tanpa "Pemiskinan"

Kamis, 22 Juni 2023 | 07:00 WIB

Satu Jam di Alam Terbuka

Selasa, 13 Juni 2023 | 16:30 WIB

Teladan Pendiri Bangsa, Standar Etika Politik

Jumat, 26 Mei 2023 | 11:15 WIB

Solusi Lintas Ilmu, Negara, dan Generasi

Minggu, 21 Mei 2023 | 13:00 WIB

Antara Inspeksi dan Introspeksi

Rabu, 10 Mei 2023 | 15:00 WIB

Mencegah Kepunahan Pilar Peradaban

Minggu, 7 Mei 2023 | 11:30 WIB

Buruh Dapat Apa di Hari Buruh?

Jumat, 5 Mei 2023 | 15:02 WIB

Menarilah untuk Bumi dan Manusia

Sabtu, 29 April 2023 | 10:00 WIB
X