Oleh: Achmad Munjid
Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM
Watyutink.com - Kebenaran, kata Michel Foucault (2002), adalah kekeliruan tak terbantah yang telah mengeras lewat proses sejarah. Dalam politik, juga politik internasional, kebenaran, kekeliruan dan kebohongan kerap sulit dibedakan. Krisis Ukraina sekarang adalah buah serangkaian kekeliruan dan kebohongan para pemimpin dunia. Indonesia harus bersikap strategis.
Menurut John Mearsheimer, profesor ilmu politik Universitas Chicago pengarang buku Why Leaders Lie, the Truth about Lying in International Politics (2011), kebohongan adalah bagian dari politik antar-negara. Namanya kebohongan strategis, jenisnya beragam.
Yang pertama adalah kebohongan literal, pernyataan yang bertentangan dengan fakta. Contoh, pada 1990, ketika Perang Dingin nyaris berakhir, di bawah kendali AS, Barat berjanji kepada Mikhail Gorbachev, pemimpin Soviet keturunan Ukraina, bahwa NATO tak akan memperluas wilayah “satu inci pun” ke Eropa Timur. NATO memang didirikan untuk menghadapi Soviet.
Pada 1991 Soviet bubar. Boris Yeltsin, presiden Rusia usul agar negaranya masuk NATO, niat yang juga pernah disampaikan Gorbachev. Tapi Barat menolak. Lalu?
Pada 1999, NATO memasukkan Polandia, Republik Czech dan Hungaria sebagai anggota. Pada 2004 Romania dan negara-negara Baltik eks anggota Soviet juga ditarik masuk NATO. Di akhir KTT Bucharest 2008, NATO menjanjikan keanggotaan bagi Georgia dan Ukraina.
Rusia merasa dibohongi dan dihina. Putin bersumpah akan menggagalkan rencana NATO atas Ukraina. Ekspansi NATO ke timur hingga perbatasan langsung Rusia bagi Putin adalah ancaman eksistensial negaranya.
Usul Rusia untuk masuk NATO ditolak berkali-kali, tapi tetangga Rusia justru ditarik masuk NATO satu per satu, 13 negara sampai 2017. Apa artinya? Pada 2007 Putin menyatakan bahwa NATO sengaja melakukan provokasi keamanan. Jika pada 1999 NATO menyerang sepihak Yugoslavia dan Kosovo, Putin pun menyerang Georgia pada 2008.
Krisis, Concealment dan spinning
Krisis Ukraina sekarang punya akar panjang. Pada 2004 Revolusi Oranye meletus, dipicu oleh demonstrasi menentang kemenangan Yanukovych yang pro-Rusia dengan alasan kecurangan pemilu. Lalu Yushchenko dukungan AS diangkat menjadi presiden. Protes keras pun meledak dari etnis Rusia di wilayah timur.
Konflik ini tak pernah benar-benar reda dan kembali meletus pada 2014 ketika Yunukovych kembali naik dan digulingkan lagi. Rusia pun mengintervensi dengan mencaplok Krimea dengan dalih melindungi etnis Rusia yang hampir sepertiga populasi Ukraina. Dalih itu pula yang dipakai Putin sekarang.
Jelas, Putin itu otoriter, korup dan kerap mengabisi lawannya dengan segala cara. Rakyat Rusia pun makin banyak yang melawannya. Ia harus dikutuk dunia. Itulah yang terus diangkat Joe Biden dan para pemimpin serta media Barat. Seakan krisis Ukraina sepenuhnya adalah kesalahan Putin. Kebohongan dan kesalahan NATO ditutup rapat.