Amanda Katili Niode, Ph.D.
Direktur, Climate Reality Indonesia
Watyutink.com - World Forestry Congress XV baru saja berakhir, setelah berlangsung selama lima hari, di Seoul, Korea Selatan. Kongres yang dilaksanakan setiap enam tahun itu bertema “Membangun Masa Depan yang Hijau, Sehat, dan Tangguh melalui Hutan.”
Penduduk dunia sangat membutuhkan hutan, karena lebih dari setengah produk domestik bruto dunia pada tahun 2020 tergantung pada jasa ekosistem, termasuk yang disediakan oleh hutan. Sedangkan sekitar 33 juta orang, atau satu persen dari lapangan kerja global, bekerja di sektor kehutanan baik secara formal maupun informal.
Ada sekitar 12,500 peserta dari 140 negara terdaftar pada Kongres Kehutanan Dunia yang pada dasarnya bukan merupakan pertemuan antarpemerintah. Mereka merupakan pejabat pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, pengusaha dan siapa saja yang berkepentingan dengan hutan.
Berbagai acara yang ada fokus pada pendefinisian peran hutan dalam Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan dan kesepakatan global lainnya terkait hutan, perubahan iklim, dan keanekaragaman hayati. Selain itu peserta juga mengidentifikasi langkah-langkah kunci yang perlu dilakukan, karena sektor kehutanan harus menghadapi realitas terkait pandemi.
Pada kesempatan tersebut, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) meluncurkan The State of the World’s Forests (SOFO) - Jalan Untuk Pemulihan Hijau Dan Membangun Ekonomi yang Inklusif, Tangguh dan Berkelanjutan.
SOFO menggali potensi tiga jalur di sektor kehutanan untuk mencapai pemulihan hijau dan mengatasi krisis multidimensi, termasuk perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati. Tiga jalur yang saling terkait tersebut adalah menghentikan deforestasi dan melestarikan hutan; memulihkan lahan terdegradasi dan memperluas agroforestri; serta menggunakan hutan dan membangun rantai nilai hijau.
Upaya simultan untuk menyeimbangkan jalur-jalur ini dapat menghasilkan manfaat ekonomi dan sosial yang berkelanjutan bagi negara-negara dan komunitas pedesaan. Selain itu juga dapat membantu memenuhi permintaan material global yang meningkat, dan mengatasi tantangan lingkungan hidup.
Salah satu aspek yang diangkat Indonesia pada Kongres Kehutanan Dunia di Seoul adalah Perhutanan Sosial, yaitu sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat. Pelaksana sistem ini adalah masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya.
Swary Utami Dewi, anggota Tim Percepatan Perhutanan Sosial mencatat adanya penguatan kebijakan afirmatif untuk pengentasan kemiskinan di daerah tertinggal dan daerah terpencil. Ini misalnya dibuktikan dengan keberadaan Perhutanan Sosial di 91 Kabupaten Tertinggal dan juga wilayah terpencil pada 2021. Kebijakan pro-poor memang menjadi mutlak dalam Perhutanan Sosial karena data menunjukkan sepertiga dari jumlah total orang miskin Indonesia tinggal dan bergantung pada kawasan hutan.