Oleh: Lukas Luwarso
Jurnalis Senior, Kolumnis
Watyutink.com - Invasi Rusia ke Ukraina telah berlangsung lebih dari dua bulan. Belum ada tanda agresi militer untuk menumbangkan pemerintahan Volodymyr Zelenskyy ini segera berakhir. Sejak invasi digelar, pada 24 Februari, David Ukrania gigih melawan Goliath Rusia.
Perang yang semula diduga akan berakhir cepat, untuk kemenangan Rusia, mulai dibayangi kegagalan. Perang untuk menegakkan kehormatan Rusia menjadi kehilangan martabat, menjadi lost cause war.
Presiden Vladimir Putin salah perhitungan, terlalu meremehkan Ukrania dan Presiden Zelenskyy. Sikap percaya diri berlebihan pada kekuatan militernya dan sistem otoritarian yang ia ciptakan, selama 24 tahun berkuasa, ikut mendorong miskonsepsi dan misinformasi. Hal lazim terjadi pada kediktatoran yang dikelilingi para birokrat pejabat militer dan penasehat yang berprinsip asal bapak senang.
Dalih Putin menyerang Ukrania masih sulit dipahami. Ia merasa Amerika dan NATO mengancam eksistensi Rusia, satu paranoia yang tidak memiliki basis. Taktik Putin menginvasi negara tetangga kecil, untuk “menggertak” Amerika dan NATO, menunjukkan kepanikan yang irasional. Mem-bully Ukrania untuk unjuk keberanian.
Bagaimana memahami psikologi Putin, dengan aksi agresinya yang mengingatkan (deja vu) situasi Eropa di era monarki. Ketika perang menjadi pameran kekuatan dan kekuasaan para raja? Tulisan ini mencoba menggali sisi lain dari perang Rusia vs Ukrania. Bukan menganalisa aspek keseimbangan geopolitik atau kedigdayaan persenjataan—yang mulai letih. Namun mengulas dari sisi psikologi manusia, sosok Putin.
Pelajaran dari Jerman
Problem psikologis Putin saat ini mengingatkan perilaku Hitler saat menggelar Perang Dunia Kedua (PD II), pada 1939. Kemiripannya ada pada “rasa terhina”, baik secara personal atau representasi bangsa. Hitler terhina akibat kekalahan Jerman pada Perang Dunia Pertama (PD I). Putin memendam rasa terhina akibat bubarnya Uni Sovyet, setelah kalah dalam perang dingin.
Jerman adalah negara digdaya pada era awal 1900-an. Negara paling maju dan makmur di daratan Eropa. Pada PD I, Jerman kalah melawan Sekutu, dan merasa “dihina” dengan hasil perjanjian Versailles yang sangat membebani. Jerman harus melucuti persenjataannya; menyerahkan sebagian wilayah teritorialnya; dan harus membayar beaya kerugian perang ke sejumlah negara lawan, yang besarnya saat itu mencapai 442 miliar dolar AS.