Oleh: Amanda Katili Niode, Ph.D.
Direktur, Climate Reality Indonesia
Watyutink.com - The New Yorker menyatakan, bagi banyak orang medianya adalah majalah paling berpengaruh di dunia. Terkenal karena laporan yang mendalam, komentar politik dan budaya, fiksi, puisi, dan humornya. Afirmasi ini nampaknya diamini oleh berbagai pihak.
Dalam sebuah artikel, majalah mingguan itu bertanya pada pembacanya: bisakah kita menemukan cara baru untuk berkisah tentang Perubahan Iklim? Pertanyaan tersebut diikuti dengan ulasan sebuah buku karangan aktivis Daniel Sherrell, Warmth: Coming of Age at the End of Our World. Daniel mengungkapkan bagaimana rasanya membayangkan masa depan di tengah krisis iklim, yang dapat mengubah hubungan manusia dengan waktu, dengan harapan, maupun antara satu sama lain.
The New Yorker mengategorikan Warmth sebagai climate memoir, sebuah genre baru dengan narasi yang tidak hanya akan meyakinkan pembaca tentang krisis iklim yang dihadapi, tetapi juga mendorong mereka untuk berbuat.
memoar, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kenang-kenangan sejarah atau catatan peristiwa masa lampau menyerupai autobiografi yang ditulis dengan menekankan pendapat, kesan, dan tanggapan pencerita atas peristiwa yang dialami dan tentang tokoh yang berhubungan dengannya.
Berbeda dengan autobiografi yang juga ditulis diri sendiri namun berisi keseluruhan hidup seseorang, memoar merupakan penggalan kisah hidup.
Climate memoir merupakan bentuk komunikasi dari sisi yang berbeda. Biasanya krisis iklim, yang merupakan masalah lingkungan global, dikomunikasikan dengan menerangkan dasar ilmunya, dampaknya, dan bagaimana menanganinya. Climate memoir mewujudkan komunikasi dari hati penulis, sebuah refleksi yang dapat menyentuh hati pembacanya.
Komunikasi tentang sains seperti Perubahan Iklim bukanlah hal yang mudah. Organisasi sekaliber Intergovernmental Panel on Climate Change – Panel Antarpemerintah Untuk Perubahan Iklim, bahkan meminta organisasi Climate Outreach, spesialis komunikasi Perubahan Iklim yang menjembatani kesenjangan antara penelitian dan praktik, untuk menyusun sebuah pedoman komunikasi.
Ada enam prinsip yang dipaparkan pedoman tersebut, yaitu: jadilah komunikator yang percaya diri, bicara tentang dunia nyata dan bukan ide abstrak, hubungkan dengan apa yang penting bagi audiens, ceritakan kisah tentang manusia, fokus dengan apa diketahui, serta gunakan komunikasi visual yang paling efektif.
Kembali kepada penulisan memoar, peminatnya di antara masyarakat umum cukup banyak. Mereka pun bergabung dalam berbagai wadah. Di Amerika Serikat ada National Association of Memoir Writers, di Australia ada Life Stories Australia Association.
Di Indonesia, sebuah wadah bernama “Komunitas Menulis memoar” didirikan pada 2017 oleh Ngadiyo, seorang penulis memoar. Setiap bulannya komunitas yang mempunyai tujuan mengabadikan pengalaman ini, rutin mengundang publik menulis memoar beragam tema sesuai peminatan. Dengan demikian siapapun dapat mengasah kepekaan dan mengembangkan diri berdasarkan pengalaman hidupnya.
Beberapa olahan Komunitas itu adalah memoar Bersyukur, Refleksi Atas Pencapaian Diri; Aku Memang Berbeda, Kisah Inspiratif Teman-Teman Difabel; memoar Menjadi Pewarta Warga; dan memoar Keluar Dari Zona Nyaman.
Saat ini “Komunitas Menulis memoar” bekerja sama dengan Diomedia dan Climate Reality Indonesia untuk menggarap antologi Climate Memoirs.
Para penulis menggambarkan pemikiran dan perasaan yang terkait dengan manusia dan Perubahan Iklim, serta apa yang pernah atau dapat dilakukan untuk menyikapinya. Tulisan yang masuk harus berdasarkan pengalaman langsung seperti berinteraksi, melihat, dan mendengar berbagai hal terkait krisis iklim.
Delima Primasari, psikolog dan editor “memoar Keluar dari Zona Nyaman” juga menulis sebuah climate Memoir. Sebagai orang yang baru belajar tentang Perubahan Iklim, ia ingin mengajak orang lain ikut mengenyam apa yang dirasakannya melalui tulisan.