• Sabtu, 23 September 2023

Mengendalikan Eco-Anxiety

- Sabtu, 2 Juli 2022 | 10:01 WIB
Ilustrasi: Muid/ Watyutink.com
Ilustrasi: Muid/ Watyutink.com

Oleh: Amanda Katili Niode, Ph.D.
Direktur, Climate Reality Indonesia

Watyutink.com - Sebanyak 200 mahasiswa dari berbagai daerah di seluruh Indonesia beberapa hari yang lalu menyimak webinar dan diskusi terpumpun tentang Eco-Anxiety, kecemasan yang melanda generasi muda karena banyaknya masalah lingkungan hidup yang silih berganti terjadi di Bumi.
 
Eco-anxiety atau sering juga disebut sebagai climate-anxiety, menurut Climate Psychology Alliance, adalah tekanan emosional, mental, atau somatik yang meningkat, sebagai respons terhadap perubahan berbahaya dalam sistem iklim.
 
Aliansi tersebut tidak melihat kecemasan lingkungan sebagai kondisi klinis, melainkan sebagai respons yang tidak terelakkan, dan bahkan sehat terhadap ancaman ekologis yang kita hadapi, seperti kekurangan makanan dan air, cuaca ekstrem, kepunahan spesies, dan peningkatan masalah kesehatan. Pada prinsipnya, memperhatikan apa yang terjadi di komunitas dan di seluruh dunia adalah respons yang lebih sehat dibandingkan dengan membantah dan merasa tidak perlu bertanggung jawab.
 
Acara berjudul “Webinar Nasional Galauin Iklim” diselenggarakan oleh para mahasiswa pengikut Youth-Leadership Course for Climate Crisis Batch 5, pada program “Merdeka Belajar, Kampus Merdeka” yang diselenggarakan oleh Climate Reality Indonesia & Future Skills Indonesia. Mata kuliah ini diampu oleh Dino Fitriza dan Swary Utami Dewi, climate reality leaders yang terus membimbing mahasiswa untuk meyerap berbagai sisi ilmu pengetahuan.

Penyelenggara mengadakan kegiatan ini karena ingin menyebarkan kesadaran kepada masyarakat bahwa penting bagi pemerintah untuk membuktikan kesulitan mereka dengan urgensi dalam mengendalikan perubahan iklim dan eco-anxiety. Selain itu, panitia juga berharap masyarakat dapat melihat dampak perubahan iklim dari perspektif psikologi lingkungan.
 
Meskipun eco-anxiety di kalangan generasi muda sudah lama menjadi perhatian, namun baru tahun lalu, sebuah survei global dilaksanakan dengan pendanaan dari AVAAZ, sebuah lembaga nirlaba yang mempromosikan aktivisme global pada berbagai isu seperti perubahan iklim, hak asasi manusia, korupsi, kemiskinan, dan konflik.
 
Responden survei tersebut adalah 10.000 anak dan remaja berusia 16-25 tahun di sepuluh Negara, yaitu Australia, Brasil, Finlandia, Prancis, India, Nigeria, Filipina, Portugal, Inggris, dan Amerika Serikat. Datanya meliputi  pemikiran dan perasaan responden tentang perubahan iklim, dan tanggapan pemerintah terhadap perubahan iklim.

Hasilnya, bagi 75% peserta, masa depan mereka terasa sangat menakutkan. Sebanyak 45% responden mengatakan bahwa climate-anxiety memengaruhi aspek kehidupan mereka seperti makan, bermain, belajar dan tidur. Ada 64% berpendapat pemerintahnya kurang bertindak dalam menghindari bencana iklim. Lebih dari 50% merasa sedih, cemas, marah, tidak berdaya, dan merasa bersalah. Sedangkan sebanyak 39% merasa ragu-ragu untuk mempunyai anak, karena khawatir terkena dampak perubahan iklim.
 
Pada “Webinar Nasional Galauin Iklim,” para peserta memaparkan kerisauan tentang masalah lingkungan yang ada di daerah masing. Mereka berusaha memahami penyebab serta solusinya. Juga, apa yang harus dilakukan jika seseorang sedang berjuang mengatasi perasaan sulit tentang krisis iklim dan lingkungan hidup.
 
Climate Psychology Alliance berpendapat, individu memerlukan dukungan untuk meningkatkan ketahanan dalam menanggung penderitaan karena krisis iklim. Dengan empati, kasih sayang, dan kebaikan, manusia dapat saling mendukung satu sama lain, sehingga kontraksi rasa takut tidak menutupi hati atau mendominasi tindakan seseorang. Beberapa yang dapat dilakukan termasuk mengurangi dampak lingkungan pribadi, berpikir positif, merawat diri, berbagi perasaan serta bergabung dengan organisasi lingkungan agar dapat berbuat lebih banyak.
 
Tetapi, intervensi untuk mengurangi penderitaan harus berada pada tingkat sistemik, bukan hanya pada level individu. Oleh karena itu, tindakan global untuk mengurangi emisi karbon dioksida penyebab perubahan iklim merupakan obat yang tepat untuk kecemasan lingkungan.  Namun, pengambilan keputusan kolektif global dan pelaksanaannya merupakan hal yang tidak mudah, karena menyangkut berbagai masalah teknis yang rumit, serta kepentingan ekonomi dan politik berbagai negara.

Survei global dengan 10.000 responden di atas menekankan perlunya penelitian lebih lanjut tentang dampak emosional perubahan iklim pada anak dan remaja. Selain itu penting bagi pemerintah untuk membuktikan kesulitan mereka dengan urgensi dalam mengendalikan perubahan iklim dan eco-anxiety.
 

Editor: Ahmad Kanedi

Tags

Terkini

Politik Dinasti, Racun Peradaban Politik Nasional

Senin, 11 September 2023 | 16:57 WIB

Politik Sirkus Para Pencuri Perhatian

Selasa, 5 September 2023 | 18:39 WIB

2024, NO Jokowi, NO Kemenangan?

Kamis, 31 Agustus 2023 | 07:54 WIB

Tantangan Indonesia Hadapi Era Industri 4.0

Rabu, 9 Agustus 2023 | 19:00 WIB

Idul Adha Melahirkan Manusia Terbaik

Jumat, 30 Juni 2023 | 20:14 WIB

Piagam Jakarta dan Kearifan Bangsa Indonesia

Kamis, 22 Juni 2023 | 16:00 WIB

Kemiskinan Tanpa "Pemiskinan"

Kamis, 22 Juni 2023 | 07:00 WIB

Satu Jam di Alam Terbuka

Selasa, 13 Juni 2023 | 16:30 WIB

Teladan Pendiri Bangsa, Standar Etika Politik

Jumat, 26 Mei 2023 | 11:15 WIB

Solusi Lintas Ilmu, Negara, dan Generasi

Minggu, 21 Mei 2023 | 13:00 WIB

Antara Inspeksi dan Introspeksi

Rabu, 10 Mei 2023 | 15:00 WIB

Mencegah Kepunahan Pilar Peradaban

Minggu, 7 Mei 2023 | 11:30 WIB

Buruh Dapat Apa di Hari Buruh?

Jumat, 5 Mei 2023 | 15:02 WIB

Menarilah untuk Bumi dan Manusia

Sabtu, 29 April 2023 | 10:00 WIB
X