Oleh: YB. Suhartoko, Dr., SE., ME
Dosen Program Studi S1 Ekonomi Pembangunan, Keuangan dan Perbankan, dan Magister Ekonomi Terapan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta
Watyutink.com - Momentum perbaikan ekonomi akibat Pandemi Covid-19 seharusnya terjadi lebih cepat pada tahun 2022. Namun demikian, adanya gejolak eksternal seperti pemulihan ekonomi yang tidak berbarengan, perang Rusia-Ukraina, dan peningkatan suku bunga The Fed yang agresif telah mendorong meningkatnya ketidakpastian global dan peningkatan inflasi hampir di seluruh negara di dunia ini, termasuk Indonesia.
Pekerjaan rumah yang dihadapi pemerintah seperti sebuah pilihan (trade off), yaitu tetap menjaga pertumbuhan ekonomi seperti pada kondisi sebelum pandemi. Bahkan, mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dan menjaga inflasi dan nilai tukar rupiah tetap stabil di tengah tren kenaikan inflasi dan penurunan nilai tukar terhadap dolar AS.
Inflasi dan Nilai Tukar
Depresiasi atau apresiasi nilai tukar nominal suatu mata uang terhadap mata uang lainnya, menurut teori “Purchasing Power Parity”, dipengaruhi oleh selisih inflasi di antara dua negara. Turunnya inflasi sebuah negara yang lebih besar dari negara lain, akan mendorong mata uang negara tersebut menguat dan sebaliknya.
Apresiasi atau depresiasi mata uang juga dapat disebabkan oleh perubahan penawaran dan permintaan di pasar valuta asing. Ketika penawaran valuta asing menurun, akan mendorong mata uang domestik mengalami depresiasi, hal yang sebaliknya akan terjadi Ketika penawarannya meningkat. Permintaan valuta asing yang meningkat akan mendorong mata uang domestik terdepresiasi, sebaliknya turunnya permintaan akan menyebabkan apresiasi.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah faktor ekspektasi yang disebabkan oleh beberapa kejadian atau pun kebijakan saat ini, atau pun ke depan yang mempengaruhi permintaan dan penawaran valuta asing. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah teori “Purchasing Power Parity” dapat menjelaskan dinamika nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Mengacu pada data inflasi tahunan Indonesia–AS, terlihat bahwa dari tahun 2001 sampai dengan 2020 inflasi tahunan Indonesia selalu lebih besar daripada AS, namun pada tahun 2020-2022 inflasi AS lebih besar dari Indonesia. Jika menggunakan teori “Purchasing Power Parity” sebagai acuan analisis, rupiah seharusnya melemah kemudian menguat setelah tahun 2020.
Tren selisih inflasi menunjukkan, semakin mengecilnya selisih inflasi. Artinya, walaupun inflasi Indonesia lebih besar dari AS, namun kecepatan depresiasi bisa direm. Hal ini tertangkap dalam grafik nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang tidak terlalu curam penurunannya setelah 2014.