Watyutink.com - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies), Anthony Budiawan, menegaskan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih sehat meski di saat bersamaan harus menanggung beban subsidi akibat kenaikan harga minyak. Pasalnya, dengan asumsi kenaikan Indonesia Crude Oil Price (ICP) dari 63 menjadi 100 dolar AS per barel juga meningkatkan pendapatan pemerintah.
"Dengan menggunakan amanah dari UU APBN No 6 Pasal 17, seharusnya surplus tersebut bisa memberi penambahan subsidi yang diberikan," ujar Anthony seperti dituliskannya dalam materi seminar yang diselenggarakan oleh Prodem, 30 Agustus 2022, dengan tema "Kenaikan Harga BBM di saat Kehidupan Rakyat yang Terus Terpuruk, Apa Imbasnya?", yang dikirimkannya ke redaksi Watyutink.com
"Realisasi pendapatan migas per juli 2022 mencapai Rp92,08 triliun, naik 93,6 persen. Terdiri dari pendapatan minyak bumi Rp83,64 triliun, naik 104,1 persen, dan pendapatan gas bumi Rp8,44 triliun, naik Rp28,5 persen," kata Anthony lagi.
Baca Juga: Bansos Pengalihan Subsidi BBM Akhirnya Turun, Tiga Pengamat Ini Kritik Kebijakan Tersebut!
"Sedangkan realisasi ‘subsidi’ BBM dan LPG untuk periode yang sama, 7 bulan, sebesar Rp62,7 triliun. Baru mencapai 41 persen dari anggaran di dalam Perpres. Artinya, anggaran sangat cukup, bahkan berlebihan," tambah Anthony menanggapi kabar APBN akan terpengaruh jika harga BBM terus disubsidi.
Anthony menambahkan, pendapatan migas ini belum termasuk Pendapatan Nasional Bukan Pajak Migas (PNBP) yang mencapai Rp29,38 triliun. Hal ini menunjukkan pemulihan aktivitas produksi maupun penerimaan negara di sektor energi.
"Pendapatan (PNBP) migas, belum termasuk PPh migas, dikurangi subsidi migas, menghasilkan surplus Rp29,38 triliun. Apakah benar? Kalau angka ini benar, maka berarti neraca keuangan migas masih sangat sehat: surplus", jelas Anthony dalam keterangan tertulis.
Sehingga, Anthony mengingatkan pemerintah untuk tidak lagi mengulangi klaim APBN sedang 'sakit', karena kebijakan ini tidak adil terutama bagi masyarakat tidak mampu.
"Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa realisasi APBN per Juli 2022 mencatat surplus Rp106,12 triliun. Sehingga pernyataan APBN akan jebol ternyata tidak benar dan bahkan menyesatkan." tegas Anthony.
Baca Juga: Pengamat Ini Minta Pemerintah Jujur Soal Subsidi BBM Yang Diberikan
Adanya subsidi listrik di dana kompensasi juga dipertanyakan oleh Anthony. "Mengapa ada subsidi listrik juga ada di dana kompensasi sebesar Rp41 triliun. Bukankah dana kompensasi ini seharusnya hanya untuk BBM, akibat penetapan harga oleh pemerintah di bawah harga pokok produksi? Artinya, untuk listrik seharusnya 100 persen masuk subsidi: tidak ada dana kompensasi?," tanya Anthony.
Komunikasi yang transparan diharapkan bisa menjadi bagian dari sosialisasi harga BBM nanti, sehingga tidak menimbulkan keraguan, seperti harga keekonomian minyak yang terus berbeda antar pejabat.
"Masyarakat sulit mencerna kebenaran data yang disajikan, karena tidak ada perincian dan perhitungan detil. Masyarakat dibiarkan menduga-duga. Misalnya, harga keekonomian pertalite. Beberapa sumber dari pejabat pemerintah bahkan menyebut angka yang berbeda-beda, menambah kebingungan publik. Sehingga menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap data dan informasi yang diberikan pemerintah. Informasi asimetris ini yang menjadi dasar sikap penolakan publik atas wacana kenaikan harga BBM."