Watyutink.com – Indonesia diminta berhati-hati dalam mengelola sejumlah komponen makro ekonomi seperti Surat Berharga Negara (SBN), nilai tukar, angka kemiskinan dan pengangguran, dan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang masih tinggi.
Wakil Rektor Universitas Paramadina Handi Rizsa mengatakan, ICOR Indonesia masih tinggi sehingga berisiko menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor luar negeri untuk berinvestasi di Tanah Air.
“ICOR kita masih tinggi sehingga berisiko keengganan pada investor luar negeri,” kata Handi dalam seminar Evaluasi Ekonomi Akhir Tahun yang digelar Universitas Paramadina pada pekan ini. Turut berbicara pada seminar tersebut dosen Institute Pertanian Bogor (IPB) Eisha M Rachbini dan dosen Universitas Mercu Buana Agus Herta S.
Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan ICOR sebagai rasio investasi kapital/modal terhadap hasil yang diperoleh (output), dengan menggunakan investasi tersebut. ICOR juga bisa diartikan sebagai dampak penambahan kapital terhadap penambahan sejumlah output (keluaran).
Selain masalah ICOR, Handi juga meminta pemerintah untuk kreatif mendekomposisi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru, sehingga tidak lagi bergantung pada kenaikan harga komoditas sawit dan batubara.
Saat ini, windfall menyebabkan harga komoditas tinggi sekali dari sawit, batubara dan nikel. Hal ini yang mendorong ekspor Indonesia pada awal 2022 meningkat signifikan. Namun, menurut Handi, harga komoditas diprediksi kembali turun pada 2023.
Di sisi lain, investasi belum sepenuhnya pulih seperti sebelum pandemi. Begitu pula daya beli dan konsumsi masyarakat. Pertumbuhan ekonomi domestik saat ini lebih didominasi oleh sektor transportasi, pergudangan dan makanan/minuman.
“Namun sektor manufaktur pengolahan masih belum mencapai titik puncak. Tingkat kontribusi PDB dari sektor manufaktur malah menurun di bawah 20 persen,”ujar Handi.
Menurutnya, perolehan gain signifikan dari neraca dagang, surplus dalam setahun terakhir seharusnya menjadi modal besar untuk meningkatkan kinerja ekspor, yang tidak lagi bergantung pada komoditas.
“Harus berkembang ke sektor industri atau manufaktur yang lain. Sehingga bisa memperkuat fundamental ekonomi Indonesia,” ujar Handi.
Menurut Agus Herta, perlu ada intervensi pemerintah terhadap siklus bisnis yang konjungtif. “Perlu adanya intervensi government supaya kondisi yang tidak optimal kembali ke kondisi optimalnya,”ujarnya pada kesempatan yang sama.
Dia menyebutkan ada siklus bisnis yang bisa menyebabkan situasi ekonomi berubah dan tidak bisa kita hindari. The Great Depression 1930 sebagai contoh. Indonesia juga sudah beberapa kali mengalami krisis.
Saat ini Indonesia dianggap cukup berhasil mengatasi krisis global dengan berdasarkan Perppu No 1/2020 dan Perppu No 2/2020 tentang penanganan pandemi. Terlebih saat ini ada UU yang akan menyatukan 15-16 UU keuangan yakni omnibus law sistem keuangan.
“Pertanyaannya, apakah kebijakan tersebut akan meningkatkan PDB atau tidak. Apakah pertumbuhan ekonomi akan kembali ke titik optimal dan apakah cukup berkualitas. Rencana UU Omnibus Law sektor ekonomi harus detail, berkualitas dan bisa diandalkan,” kata Agus.
Di sisi lain, menurut Agus, harus diciptakan lapangan pekerjaan yang layak dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Satu rumus menyebutkan 1 persen pertumbuhan ekonomi akan menciptakan lapangan 300 ribu pekerjaan baru.