Memahami Anatomi Radikalisme

- Senin, 6 Desember 2021 | 09:15 WIB
Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net

Sikap ekstrim sebagian manusia di sekitar kita yang keluar dari sikap mainstream senantiasa akan ada sepanjang hidup dan kehidupan ini. Hal itu terjadi oleh karena pemahaman nilai-nilai kehidupan (yang dapat bersumber dari banyak hal seperti: agama, keyakinan, adat kebiasaan dll) yang keliru juga akan senantiasa ada seiring dengan regenerasi yang ada. Sejatinya tokoh-tokoh masyarakat (dari kelompok agama, adat dan berbagai keyakinan) yang harus senantiasa memelihara, menjaga dan mengontrol sikap-sikap berlebihan (ekstrim) yang ada di tengah masyarakat. Kuncinya tentu kita harus memahami bagaimana bisa terbentuk sikap ekstrim atau radikal itu?

Sebuah realitas dialektika kehidupan (Friedrich Hegel, 1831) yang tidak dapat kita hindari, akan senantiasa terjadi benturan-benturan nilai yang kita kenal dengan: tesa, antitesa dan sintesa. Pada ranah inilah bila di rasuki oleh nilai-nilai yang salah maka akan dengan mudah melahirkan berbagai bentuk sikap ekstrim (radikal) yang akan diperparah dengan berbagai kondisi kehidupan yang timpang (dari sisi ekonomi, social, budaya dan yang lainnya). Kondisi yang melahirkan gap yang sangat jauh dan serasa sulit untuk dikendalikan menuju kehidupan yang lebih adil secara menyeluruh. Pada ranah inilah yang menjadi penyebab lahirnya sikap radikal untuk membunuh pihak-pihak yang menjadi penyebab ketimpangan tersebut. Demikian juga pada tataran inilah kelompok seperti ini biasanya akan senantiasa berkonflik dengan berbagai pihak baik secara horizontal maupun vertikal. Berkonflik dengan sesama masyarakat atau bahkan berkonflik dengan pemerintah yang seringkali di cap sebagai biang kerok.

Wujud ini sebenarnya terjadi karena kita tidak sadar telah memper-Tuhan-kan akal kita secara bebas dan liar. Kita sangka dengan akal yang kita miliki maka segala hal dapat kita pahami dan tafsirkan tanpa kendali. Bagaimana pun akal kita tidak bisa dibiarkan liar dan bebas tanpa kendali. Masalahnya terapi untuk mencegah agar akal kita tidak bebas dan liar juga tidak dipahami dengan baik. Akal kita yang cenderung bebas dan liar di satu sisi kemudian di sisi lain akal kita juga itu yang mencoba melakukan pembatasan-pembatasan. Inilah salah satu bentuk sikap ambigu manusia. Sikap-sikap yang saling bertentangan dalam manusia melakoni hidup dan kehidupannya termasuk dalam interaksi social yang terjadi.   

Dalam kita membincangkan tentang, “akal” banyak pertanyaan yang harus kita jawab yaitu, bagaimana asal ushul kejadian dari akal itu. Bagaimana dan dari mana kemudian manusia dengan akalnya bisa mengetahui dan memahami segala sesuatu. Bagaimana juga bisa terjadi bahwa suatu saat akal kita kehilangan kecerdasan dan tidak lagi bisa berfikir? Bagaimana akal kita bisa melahirkan sikap-sikap ambigu?

Pada tataran inilah kita juga dapat melihat secara jelas dan nyata, mengapa peraturan perundang-undangan (hukum) senantiasa masih banyak di langgar yang tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak terpelajar dari sisi ilmu pengetahuan akan tetapi di lakukan oleh orang-orang terpelajar tidak hanya dari sisi ilmu pengetahuan akan tetapi juga dari sisi pengetahuan agama (tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat). Hal tersebut jelas semuanya bermuara di akal. Akal kita lah yang memproduksi semua peraturan perudang-undangan yang ada, akan tetapi akal kita pula lah di sisi lain yang kemudian menginjak-injak peraturan perundang-undangan tersebut. Konsep dan pemikiran ini jelas tidak pernah di bahas dan tidak mampu di cerna oleh segenap aparat penegak hukum yang ada, mengapa bisa seperti itu? Kita sudah tau itu salah, itu tidak boleh akan tetapi kenapa kita tetap lakukan ada apa?

Pada tataran ini pulah lah kita jadi tersadar untuk memahami dengan baik tentang entitas akal tersebut. Bahwa akal yang tidak terkendali akan liar dan menerjang kiri kanan dan dapat menimbulkan berbagai kerusakan di permukaan bumi. Memahami entitas akal tentu juga tidak dapat di lakukan dengan hanya bersandar dan berpijak pada akal itu sendiri. Bagaimana mungkin akal kita bisa  dikendalikan agar tidak liar dan bebas hingga merusak bila alat kendali yang berupa nilai-nilai etika, nilai-nilai ilmiah atau yang lainnya tersebut juga adalah hasil produk akal itu sendiri.

Berbagai sikap radikal yang dilakukan oleh seorang manusia sudah jelas sebagai akibat dari proses berfikir yang salah. Agar akal kita terkontrol tentu saja hanya bisa bila ada control  oleh entitas yang menciptakan akal kita itu. Dalam bahasa agama itulah Tuhan Yang Maha Esa. Dengan kata lain bahwa akal kita agar menjadi baik atau tidak bebas dan liar maka itu  adalah ranahnya agama. Hanya saja ketika kita bicara tentang agama dengan segala nilai-nilainya juga banyak kita tidak pahami dengan baik. Ajaran agama sebagaimana terkandung di dalam berbagai Kitab Sucinya juga mencoba dipahami dengan argumentasi-argumentasi akal yang sangat terbatas kemampuannya. Bahkan dengan akal, kita seringkali tidak sadar mengoreksi bahkan menyalahkan hukum-hukum Tuhan. Tuhan yang telah menciptakan manusia dan memberikannya akal untuk berfikir.

Dalam pandangan agama, “akal hanyalah alat untuk berfikir, akal bukanlah sumber pikir itu sendiri”. Akal kita hanya dapat berfungsi untuk berfikir, setelah Tuhan meniupkan satu entitas ke dalam tubuh kita. Setelah entitas itu masuk maka memancaralah pendengaran di telinga, penglihatan di mata pemikiran di qalbu. Demikian juga sebaliknya bila entitas diri itu telah di ambil kembali oleh pemilikNya maka meskipun otak kita secara fisik masih ada akan tetapi dia hanya tinggal sebagai segumpal daging (otak) yang sangat di senangi untuk di makan ketika kita menikmati semangkuk Coto (kuliner Makassar yang sangat khas). Komponen-komponen anatomis tubuh kita itu tinggal kenangan. Ibaratnya sebuah foto yang hanya berisi gambaran akan tetapi foto itu tidak dapat menjelaskan dirinya.

Akal manusia bila tidak dipahami dengan baik maka akan mendorong pemiliknya untuk liar dan beringas. Setiap orang sejatinya memahami asa ushul kejadian akal dan apa sejatinya tujuan dan fungsi akal itu. Untuk memahami hal tersebut tidak bisa kita gunakan ilmu pengetahuan. Pemahaman akan hal tersebut hanya bisa melalui penjelasan nilai-nilai agama yang benar. Penjelasan nilai-nilai agama akan bias dan berbahaya bila penjelasan yang diberikan adalah penjelasan yang lahir dari hasil korupsi spiritual yang lebih berbahaya dari korupsi uang rakyat.

Editor: Admin

Terkini

Dukung Prabowo, Jokowi Pressure Megawati?

Minggu, 21 Mei 2023 | 13:15 WIB

7 Mei, Lahir Seorang Calon Presiden RI Ke-8

Minggu, 7 Mei 2023 | 19:10 WIB

Presiden Seharusnya Tidak Menjadi King Maker

Sabtu, 6 Mei 2023 | 08:00 WIB

Jokowi Tidak Akan Dukung Prabowo

Senin, 1 Mei 2023 | 13:30 WIB

Puan Makin Terancam?

Minggu, 30 April 2023 | 19:00 WIB

Takbiran

Kamis, 20 April 2023 | 21:15 WIB

Silaturahmi Ketum Partai Bersama Jokowi

Senin, 3 April 2023 | 14:45 WIB

Prabowo, Capres atau King Maker?

Kamis, 9 Maret 2023 | 08:30 WIB

Ekonomi Global Membaik, PERPPU Cipta Kerja Wajib Batal

Selasa, 31 Januari 2023 | 13:30 WIB

Setelah Koalisi Perubahan Terbentuk, What Next?

Selasa, 31 Januari 2023 | 12:30 WIB

Koalisi Perubahan, Koalisi Tak Tergoyahkan

Senin, 30 Januari 2023 | 12:00 WIB

Gelembung Utang dan Retorika Mampu Bayar: Menyesatkan?

Minggu, 29 Januari 2023 | 13:00 WIB

Koalisi Istana Pasti Akan Pecah

Sabtu, 21 Januari 2023 | 16:30 WIB

Erros Djarot: Lawan Mafia Tanah.!

Sabtu, 21 Januari 2023 | 15:00 WIB

Prihatin, Kompetensi BI Seperti Amatir

Sabtu, 21 Januari 2023 | 12:00 WIB

Pesta di Atas Adu Domba

Sabtu, 21 Januari 2023 | 10:15 WIB

Terpopuler

X