Kejahatan Seksual di Balik Topeng Agama

- Minggu, 12 Desember 2021 | 14:30 WIB

Kejahatan seksual yang dilakukan oleh Herry Wirawan (2021) kepada 12 orang santriwati yang telah berlangsung selama 5 tahun bukanlah kebiadaban pertama seorang guru agama. Ratusan bahkan ribuan perbuatan serupa telah banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh agama dari berbagai agama yang ada diperbagai tempat di permukaan bumi ini. Sebuah kebiadaban yang sangat jahat dan sejahat-jahatnya karena dilakukan oleh orang-orang yang tidak sepatutnya melakukan perbuatan tersebut.

Ada apa sebenarnya ini? Kenapa seorang tokoh agama yang senantiasa menganjurkan untuk tidak melakukan perbuatan tersebut justru mereka sendiri yang kemudian melakukannya. Untuk itu penulis ingin memberikan beberapa catatan terkait hal tersebut semoga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk kita menemukan kebenaran sesungguhnya. Kebenaran sesungguhnya yang tentu menjadi tujuan akhir yang harus kita capai atau raih setelah membaca sebuah tulisan atau gagasan. Setiap konsep, teori atau nilai yang kita dapat, kemudian dapat kita rasakan kebenarannya pada diri kita.

Pertama-tama tentu kita bertanya dari mana sebenarnya asal usul dari kesimpulan bahwa tokoh agama dari berbagai agama kemudian disebut sebagai orang suci, orang pintar, tokoh yang harus jadi rujukan, orang terbaik dan orang yang tidak akan tersentuh oleh berbagai-bagai bentuk perbuatan jahat. Kalau disebut selayaknya seperti itu iya saya setuju, sehingga bukan sesuatu hal yang mengagetkan dan membuat heboh jika ternyata kemudian di temukan ada tokoh agama melakukan berbagai bentuk perbuatan jahat dan sejahat-jahatnya perbuatan yang sejatinya hanya dilakukan oleh binatang. 

Bukankah mereka yang senantiasa mengajarkan kepada kita umat beragama yang ada akan pentingnya menjaga dan meningkatkan keimanan agar terhindar dari berbagai bentuk perbuatan jahat. Di mana mereka simpan iman dan keimanannya sebagai tokoh agama. Iman dan Keimanan pada prinsipnya ada pada entitas diri semua manusia (umat manusia) yang diharapkan dapat menjadi pengarah agar setiap manusia dapat menjaga, memelihara kesucian dirinya untuk senantiasa berbuat baik. Dengan itu pula setiap manusia diharapkan dapat menjaga dirinya dari segala bentuk perbuatan jahat. Hanya saja iman dan keimanan yang melekat dalam entitas diri manusia tentu akan selalu mengalami berbagai disrupsi dan distraksi karena realitas diri manusia itu dan realitas kehidupan sehingga iman itu dalam bahasa agama akan senantiasa naik-turun, akan tebal-tipis. Entitas itulah yang kemudian membuat seorang manusia pada waktu tertentu akan sangat ber iman dan senantiasa berbuat baik akan tetapi dalam waktu tertentu manusia dapat jatuh ke dalam berbagai bentuk perbuatan jahat.  

Setiap orang sejatinya memahami betul eksistensi dan hakikat dirinya sebagai manusia. Tubuh kita ada yang fisik dan ada yang non fisik. Kedua entitas diri ini lagi-lagi harus dipahami dengan baik bukan sekedar mampu membedakan bahwa, ada yang fisik dan ada yang non fisik. Kita harus memahami betul asal usul atau proses kejadiannya, termasuk sifat-sifat yang terkandung di dalamnya. Untuk itu siapa pun iyanya bila tidak mengerti dan memahami hakekat diri ini maka senantiasa atau setiap saat dapat saja melakukan berbagai-bagai bentuk perbuatan baik atau perbuatan jahat tidak perduli dia tokoh agama atau bukan. 

Dengan demikian kita jangan salah memahami kedudukan seorang tokoh agama atau guru agama, termasuk lembaga pendidikan yang didirikan atau diasuhnya. Pada level inilah  seringkali kita tidak sadari atau mungkin kita sadari banyak terjadi apa yang penulis sebut dengan, “korupsi spiritual”. Korupsi dalam bentuk menyampaikan perintah-perintah agama untuk berbuat baik dan menjauhi segala bentuk perbuatan tidak baik yang sebenarnya bukan seperti itu pesan Tuhan yang terkandung di dalam Kita Suci akan tetapi pesan yang dibuat sendiri berdasarkan hasil olahan akal dari orang yang menafsirkannya sehingga pesan-pesan yang disampaikan lari dari makna sesungguhnya.

Berbagai tokoh agama sejatinya bukanlah orang suci yang dapat menyelamatkan kehidupan manusia. Setiap manusia harus mampu memyelamatkan dirinya masing-masing. Yang bisa menyelamatkan kehidupan kita adalah Tuhan. Untuk itu tokoh agama perannya adalah menunjukkan di mana tempat bertemu dan berdoa kepada Tuhan dan bagaimana agar  Tuhan menyelamatkan kehidupan kita. Dengan dasar ini pulah Tuhan mengutus Nabi dan RasulNya untuk memberikan bimbingan dan petunjuk kepada umat manusia. Pertanyaanya kemudian apakah tokoh-tokoh agama yang ada di sekitar kita benar adalah utusan Tuhan seperti halnya para Nabi dan Rasul. Apakah benar mereka di beri kuasa atau di angkat oleh Tuhan untuk menyampaikan ajaran-ajaran yang terkandung di dalam Kitab Suci. Kalau mereka benar utusan Tuhan atau di beri kuasa oleh Tuhan untuk berdakwah, kenapa kemudian mereka justru terhempas dalam berbagai bentuk kejahatan sadis.

Untuk itu hal penting dan esensial yang sangat penting dan utama untuk kita pahami adalah hakekat agama yang hilang setelah ribuan tahun kita ditinggal oleh Nabi dan Rasul. Kita tidak lagi memahami hakekat diri kita kenapa bisa berbuat baik dan juga bisa berbuat jahat. Kita tidak memahami hakekat Nabi atau Rasul. Kita hanya mengenal Nabi dan Rasul dari namanya, esensi dan entitasnya kita tidak kenal. Kita tidak mengenal hakekat Tuhan, kita mengenalnya hanya namanya sedangkan pemilik nama kita tidak kenal. Itulah sebabnya kemudian banyak orang memperTuhankan dirinya atau menjadikan Tuhan apa yang sejatinya bukan Tuhan. 

Hakekat agama sebagaimana dikemukakan di atas bila kita tidak pahami maka berbagai bentuk amal ibadah yang kita lakukan hanya bersifat seremonial tidak bermakna secara hakekat untuk membuat diri kita menjadi  baik. Pola-pola seperti inilah yang kemudian banyak di pertontonkan di masyarakat termasuk tokoh agama, hanya pandai di dalam ucapan akan tetapi apa yang diucapkannya tidak bersumber dan merasuk di dalam hati sanubarinya. Apa yang terucap di mulutnya hanya bersumber dari kecerdasan intelektualnya di otak tidak bersumber dari hakekita dirinya yang ada di hati atau sejatinya kecerdasan spiritual atau memahami hakekat agama. 

Tentu saja hal ini sangat penting kita pahami bahwa dalam diri setiap manusia ada esensi kafir (ingkar) dan ada esensi iman (baik). Entitas ini tidak bisa kita ingkari adanya dan memahami entitas ini tidak lah susah. Entitas diri ini dapat kita pahami dan rasakan adanya dalam bentuk bisikan hati (voice of the heart). Contohnya ketika kita seorang diri di dalam suatu ruangan ternyata kita temukan ada “Dompet” yang tergeletak atau tertinggal di atas meja entah siapa yang punya, maka apa kata kedua entitas diri (si kafir dan si iman tadi). Dia akan silih berganti bersuara dan merayu kita untuk berbuat baik atau berbuat jahat. Si kafir akan senantiasa menyuruh kita mengambil tanpa hak (mencuri). Si iman akan senantiasa mengingatkan jangan! Mencuri tidak boleh itu perpuatan jahat, jangan ambil kalau pun di ambil maka kemudian serahkan ke pihak yang berkompoten untuk di kembalikan kepada pemiliknya. 

Entitas kafir dan iman yang ada pada diri setiap orang sebagai kelengkapan hidup sia pun dianya, masyarakat biasa  maupun tokoh agama. Entitas diri inilah yang memicu atau sebagai sumber penyebab terjadinya perbuatan baik atau perbuatan jahat. Kita manusia tentu saja tidak punya kemampuan untuk mengendalikan hal tersebut. Untuk mengendalikan sifat-sifat tersebut agar sifat kafir tidak merusak dan yang menonjol adalah sifat iman, maka disinilah peran Nabi dan Rasul untuk menuntun kita kepada Tuhan yang pemilik dan penguasa diri kita termasuk sifat-sifat tadi tidak memperdaya dan merusak diri kita. 

Apa yang diuraikan di atas selanjutnya bisa menjadi bahan penelian. Kita bisa coba teliti dan tanya para tokoh-tokoh agama yang telah melakukan berbagai bentuk perbuatan jahat.  Apakah mereka mengerti dan memahami dua entitas diri tadi yang senantiasa membisikkan ke dalam dada manusia untuk berbuat baik atau berbuat jahat. Paling tidak sifat kafir itulah yang menjadi penyebab terjadinya berbagai bentuk kejahatan (korupsi, pembunuhan, pemerkosaan, pencurian dan yang lainnya). Kemudian kita sadar betul karena seringkali terjadi pada kita bahwa setelah kita berbuat jahat atau berbuat tidak baik (memarahi bawahan, memarahi asisten rumah tangga atau pun korupsi) maka pada saat itu sifat iman pasti akan muncul dan melahirkan apa yang kita sebuat dengan kesadaran dan penyesalan kenapa ya saya melakukan perbuatan itu. Pada sisi inilah puncak masalahnya karena mau apalagi nasi sudah jadi bubur. Hal inilah yang menjadi perilaku hidup sehari-hari umat manusia. Setelah sadar akan menyesal hingga pada saatnya perbuatan itu berulang kemudian tersadar lalu jahat lagi bak lingkarang setan. Bagaimana sejatinya dan dimana peran nilai-nilai ajaran agama?

Editor: Admin

Terkini

Dukung Prabowo, Jokowi Pressure Megawati?

Minggu, 21 Mei 2023 | 13:15 WIB

7 Mei, Lahir Seorang Calon Presiden RI Ke-8

Minggu, 7 Mei 2023 | 19:10 WIB

Presiden Seharusnya Tidak Menjadi King Maker

Sabtu, 6 Mei 2023 | 08:00 WIB

Jokowi Tidak Akan Dukung Prabowo

Senin, 1 Mei 2023 | 13:30 WIB

Puan Makin Terancam?

Minggu, 30 April 2023 | 19:00 WIB

Takbiran

Kamis, 20 April 2023 | 21:15 WIB

Silaturahmi Ketum Partai Bersama Jokowi

Senin, 3 April 2023 | 14:45 WIB

Prabowo, Capres atau King Maker?

Kamis, 9 Maret 2023 | 08:30 WIB

Ekonomi Global Membaik, PERPPU Cipta Kerja Wajib Batal

Selasa, 31 Januari 2023 | 13:30 WIB

Setelah Koalisi Perubahan Terbentuk, What Next?

Selasa, 31 Januari 2023 | 12:30 WIB

Koalisi Perubahan, Koalisi Tak Tergoyahkan

Senin, 30 Januari 2023 | 12:00 WIB

Gelembung Utang dan Retorika Mampu Bayar: Menyesatkan?

Minggu, 29 Januari 2023 | 13:00 WIB

Koalisi Istana Pasti Akan Pecah

Sabtu, 21 Januari 2023 | 16:30 WIB

Erros Djarot: Lawan Mafia Tanah.!

Sabtu, 21 Januari 2023 | 15:00 WIB

Prihatin, Kompetensi BI Seperti Amatir

Sabtu, 21 Januari 2023 | 12:00 WIB

Pesta di Atas Adu Domba

Sabtu, 21 Januari 2023 | 10:15 WIB

Terpopuler

X