Banyak tokoh potensial untuk menjadi presiden RI. Tapi apa daya, mereka terbentur aturan main. Tidak mudah memenuhi syarat administratif untuk nyapres.
Sesuai aturan pasal 222 UU Pemilu No 7 Tahun 2017, untuk bisa nyapres mesti didukung oleh 20 persen kursi di DPR. Artinya, yang berhak mengusung capres itu adalah parpol, atau gabungan parpol. Dengan syarat Presidential Treshold 20 persen, hanya PDIP satu-satunya parpol yang bisa mengusung secara mandiri (128 kursi). Partai lain? Mesti koalisi.
Dengan syarat 20 persen, maka hanya akan ada maksimal tiga paslon. Otak atik tiga paslon ini belum bisa dipastikan terkait parpol apa saja yang berkoalisi, dan siapa paslonnya. Tapi, tetap ada kemungkinan PDIP-Gerindra satu paslon. Nasdem-PKS, PAN dan PPP bisa satu paslon lagi. Kemudian Golkar, PKB dan Demokrat, bisa jadi paslon berikutnya.
Boleh jadi malah hanya akan ada dua paslon. Golkar dan PKB jika tidak menemukan paslon yang sreg, bisa bergabung ke salah satu kubu dari PDIP atau Nasdem. Sementara Demokrat, dipredisksi akan berseberangan dengan PDIP.
Nasdem dan Demokrat besar kemungkinan akan melawan PDIP. PKS, PAN dan PPP punya risiko elektabilitas jika satu gerbong dengan PDIP. Begitulah situasi politik saat ini. Golkar dan PKB, bikin koalisi sendiri, atau bisa juga bergabung ke salah satu kubu jika tidak punya calon aduhai.
Dianggap tidak fair, sejumlah pihak menggugat aturan Presidential Treshold 20 persen ini. Presidential Treshold ini dianggap tidak memberi ruang dan kesempatan bagi sejumlah putra terbaik bangsa yang mumpuni untuk memimpin negeri ini kedepan.
Mereka menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Upaya pertama yang dilakukan Rizal Ramli, gagal. Gugatan berikutnya dilakukan oleh Gatot Nurmantyo, Refly Harun, Tamsil Linrung cs. Proses gugatan saat ini masih berjalan di MK.
Satu sisi, adalah fakta bahwa Pilpres beda dengan pileg. Artinya, pemilih partai tertentu tidak otomatis memilih capres dari partai tersebut. Tidak linier. Dengan begitu, partai mesti membuka ruang untuk calon independen yang diminati rakyat. Kira-kira begitu logikanya
Alasan lain, selama tiket nyapres ada di tangan partai, maka kebutuhan akan biaya tiket sangat mahal. Entah itu namanya "mahar politik" atau "kebutuhan logistik". Bisa satu triliun untuk setiap partai pengusung. "Ngeri-ngeri sedap". Inilah diantara yang digugat ke MK.