Tukang Karikatur dan Gapura Lapang Merdeka Kota Sukabumi

- Senin, 10 Januari 2022 | 10:30 WIB
Kang Warsa - Penulis
Kang Warsa - Penulis

Oleh: Kang Warsa
Gemar Baca Tulis

Salah satu ruang publik terluas di Kota Sukabumi telah diresmikan oleh Gubernur Jawa Barat dan Wali Kota Sukabumi. Artinya, peresmian ini telah membuka pintu masuk bagi seluruh warga Kota Sukabumi dalam memanfaatkan Lapang Merdeka untuk beragam aktivitas fungsi utama sebuah lapang terbuka. Sebagai salah seorang warga Kota Sukabumi, saya tentu saja harus bangga dengan  kehadiran “wajah baru” Lapang Merdeka yang telah menjadi bagian tidak terpisahkan entah dengan kehidupan pribadi saya atau dengan kisah seluruh warga Kota Sukabumi. Warga Kota Sukabumi dapat saya simpulkan sedang berhagia, dalam benak mereka mungkin saja muncul ungkapan: boga lapang anyar,euy! (Punya lapang baru,euy!).

Tampilan baru Lapang Merdeka tidak sekadar dilengkapi oleh fasilitas-asilitas olahraga luar ruangan, juga dilengkapi oleh ornamen-ornamen penghias lainnya yang memuat simbol-simbol interpretatif, salah satunya gapura berbentuk tumbuhan paku. Penyematan tumbuhan paku terhadap gapura merupakan langkah baru yang diambil oleh Pemerintah Kota Sukabumi setelah beberapa tahun ke belakang, kita sebagai warga Kota Sukabumi masih sibuk melakukan pencarian simbol penting untuk Kota Sukabumi.

Tentu saja, kemunculan replika tumbuhan paku sebagai salah satu ornamen Lapang Merdeka tidak terjadi begitu saja. Gapura Lapang Merdeka dalam bingkai tumbuhan paku merupakan jerih payah pemikiran seorang teman, seorang karikaturis, Nurwenda Juniarta (Jiwenk). Sudah tentu, saya “wajib” bangga dengan alasan desain seorang teman dapat dilihat dan dinikmati oleh warga Kota Sukabumi. Dapat saja, tumbuhan paku ini akan menjadi simbol untuk Kota Sukabumi.

Secara alamiah, usia tumbuhan paku lebih tua dari kehadiran manusia Sukabumi. Tanaman purba dengan usia 360 juta tahun ini telah melalui rangkaian perubahan alam, evolusi, dan mampu bertahan hingga sekarang. Dalam pentas kehidupan, hanya tanaman dan binatang yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya yang dapat mempertahankan jenisnya selama ratusan juta tahun.

Kita tentu mengalami kesulitan untuk membayangkan kondisi alam dan lingkungan Sukabumi jutaan tahun lalu. Permukaan bumi masih diselimuti oleh tanaman-tanaman purba, ekosistem terdiri dari mahluk tingkat tinggi yang menempati piramida rantai makanan tertinggi. Dalam lingkungan seperti ini, spesies bernama manusia tentu harus berhadapan dengan lingkungan ganas, tanpa adaptasi dan mekanisme bertahan yang baik akan dengan mudah mengalami kepunahan. Atas alasan itulah, kehadiran spesies manusia berperadaban di muka bumi ini, berdasarkan penelitian ilmiah, baru muncul sekitar 70.000 tahun lalu ketika terjadi revolusi kognitif. Jauh sebelumnya, dapat saja diasumsikan telah muncul spesies manusia namun baru menempati piramida makanan pada bagian tengah.

Kemampuan mempertahankan diri tumbuhan paku selama jutaan tahun merupakan bentuk kecerdasan divisi Pteridophyta dalam beradaptasi dengan beragam bentuk lingkungan dan perubahan kondisi alam. Sebagian pihak menyebut tanaman ini sebagai anugerah dari kahyangan. Kecerdasan tumbuhan paku ini telah dibuktikan oleh dirinya melalui penyebaran spora pada proses perkembangbiakannya. Sejak semula ada,360 juta tahun lalu sampai sekarang, tanaman ini tetap melakukan itu.

Di sisi lain, gelombang yang dihasilkan oleh tumbuhan paku juga mampu mengecoh frekuensi mahluk lain untuk memiliki, menyukai, dan mengonsumsinya. Di beberapa daerah, seperti di Sumatera Barat, tanaman ini memang dijadikan penganan gulai paku. Walakin, secara umum, jarang sekali manusia yang tertarik untuk mendomestikasi dan memelihara tanaman ini. Akan berbeda ketika menatap mawar, melati, dan tanaman penghasil bunga, dalam diri manusia muncul hasrat untuk memelihara dan memilikinya. Hal ini tidak berlaku bagi tumbuhan paku, ia akan tetap muncul di berbagai tempat tanpa memerlukan upaya-upaya domestikasi hingga budi daya dan sentuhan tangan manusia.

Simbol sebuah wilayah harus memerhatikan filosofis mendasar yang melekat erat dengan benda atau hal yang disimbolkannya. Tumbuhan paku, karena kemampuan bertahan selama ratusan juta tahun merupakan simbol kekuasaan, kemandirian, dan keajegan. Aplikasi atau penerapannya telah dilakukan oleh kerajaan di Tatar Sunda. Filosofi ini secara perlahan mampu memengaruhi cerita-cerita masa lalu,termasuk dalam pemberian nama untuk kerajaan di Sunda seperti Pakuan Pajajaran. Beberapa obrolan saya dengan Kang Jiwenk sangat kentara, pemilihan tumbuhan paku sebagai salah satu desain yang diikutsertakan dalam lomba desain Gapura Kota Sukabumi tahun 2016 mengisaratkan beberapa hal.

Pertama, kecuali didasari oleh filosofi dan makna besar dan penginterpretasiannya, sebagai sebuah desain, tumbuhan paku akan lebih mudah diaplikasikan atau dipindahruangkan dari konsep desain ke dalam beragam bentuk dimensi,  bukan hanya gapura sebagai portal masuk atau batas kota, juga dapat diaplikasikan ke dalam ornamen lain, hingga cinderamata berukuran kecil. Kedua, pembuatan desain tumbuhan paku dipengaruhi oleh cerita-cerita yang berkembang baik dalam skala kecil (Sukabumi) juga skala luas (Sunda). Pakuan dan cerita Paku Jajar di Gunung Parang menjadi satu landasan pembuatan desain tumbuhan paku ini. Dalam pengaplikasiannya, warga Kota Sukabumi dapat mengamati Gapura Lapang Merdeka merupakan ikatan tumbuhan paku sebagai kesatuan utuh.

Ketiga, simbol sebuah wilayah harus melekat erat dengan setiap linimasa kehidupan, ide-ide besar, dan hal yang sulit terjamah namun telah hadir sekian lama. Para leluhur Sunda memilih tumbuhan paku sebagai simbol kekuasaan sudah tentu berisi pesan moral keharusan manusia untuk melestarikan alam, mampu beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan setiap perubahan namun tetap ajeg dan kokoh dalam menunjukkan jati dirinya. Harus diakui,konsep seperti ini memang terlalu melangit saat dihadapkan pada fakta yang terjadi. Karena itu, tidak salah jika tumbuhan paku ditanam di areal terbuka, termasuk di Lapang Merdeka sendiri.

Membayangkan kondisi Sukabumi jutaan tahun lalu sebenarnya tidak sulit jika kemelekatan dan keterikatan antara masa lalu dengan masa kini dapat dipadukan. Segalanya telah tertanam di dalam diri manusia Sukabumi pada kromosom yang memuat triliunan data masa lalu. Jutaan tahun lalu merupakan hamparan tumbuhan paku yang hidup bersama pohon-pohon tingkat tinggi lainnya. Bayangkan, diri kita memasuki belantara Sukabumi jutaan tahun lalu, manusia hanya merupakan spesies  yang berjalan mengendap-endap, merangkak di belantara gelap serta lembab, dan mewaspadai ancaman dari satwa lain yang dapat saja muncul secara tiba-tiba.

Sikap leluhur manusia seperti di atas telah terekam dalam diri mereka pada berkas-berkas yang disimpan dalam kromosom, kemudian diwariskan kepada anak cucunya. Bukankah setiap dari kita saat ini sering merasa takut ketika berada di kegelapan? Ketakutan atau lebih tepatnya kehatia-hatian masa lalu para leluhur manusia, secara mandiri diasosiasikan oleh sel-sel dalam tubuh dan menjelma menjadi ide rasa takut terhadap mahluk halus, roh jahat penunggu hutan, lantas diwujudkan dalam bentuk-bentuk menyeramkan. Manusia dapat terhindar dari rasa takut itu ketika mereka telah keluar dari belantara gelap dan menemukan tempat terbuka luas, ditumbuhi oleh tanaman melaut hijau. Bagaimana perasaan kita setelah keluar dari hutan belantara kemudian melihat areal persawahan luas dan menghijau ranau, nyaman bukan? Itulah yang dulu pernah di alami oleh para leluhur manusia di masa sebelum revolusi kognitif , 70.000  tahun lalu.

Revolusi kognitif ditandai oleh perubahan ukuran otak manusi. Ini memiliki arti semakin besar ruang penyimpanan berkas kehidupan. Agar tidak terlalu menakutkan, belantara dibuka dan dijadikan areal pemukiman, kebutuhan dasar terhadap makanan harus tetap tersedia tidak hanya mengandalkan berkah dari alam. Perubahan ukuran otak dan ruang penyimpanan pada leluhur manusia ini mengharuskan tindakan pembaharuan pada aplikasi-aplikasi yang telah lama tertanam dalam diri manusia. Jika pada periode sebelumnya mulut hanya digunakan untuk mengunyah makanan, di era revolusi kognitif ini mulut telah dimanfaatkan sebagai alat komunikasi efektif dalam bentuk pelafalan kata-kata. Alam sebagai labolatorium pembelajaran telah menjadi tempat bereksperimen leluhur manusia dalam beradaptasi.  Pertumbuhan ukuran ruang penyimpanan pada otak disebabkan oleh asupan nutrisi beragam makanan yang dikonsumsi oleh leluhur manusia.

Halaman:

Editor: Admin

Terkini

Dukung Prabowo, Jokowi Pressure Megawati?

Minggu, 21 Mei 2023 | 13:15 WIB

7 Mei, Lahir Seorang Calon Presiden RI Ke-8

Minggu, 7 Mei 2023 | 19:10 WIB

Presiden Seharusnya Tidak Menjadi King Maker

Sabtu, 6 Mei 2023 | 08:00 WIB

Jokowi Tidak Akan Dukung Prabowo

Senin, 1 Mei 2023 | 13:30 WIB

Puan Makin Terancam?

Minggu, 30 April 2023 | 19:00 WIB

Takbiran

Kamis, 20 April 2023 | 21:15 WIB

Silaturahmi Ketum Partai Bersama Jokowi

Senin, 3 April 2023 | 14:45 WIB

Prabowo, Capres atau King Maker?

Kamis, 9 Maret 2023 | 08:30 WIB

Ekonomi Global Membaik, PERPPU Cipta Kerja Wajib Batal

Selasa, 31 Januari 2023 | 13:30 WIB

Setelah Koalisi Perubahan Terbentuk, What Next?

Selasa, 31 Januari 2023 | 12:30 WIB

Koalisi Perubahan, Koalisi Tak Tergoyahkan

Senin, 30 Januari 2023 | 12:00 WIB

Gelembung Utang dan Retorika Mampu Bayar: Menyesatkan?

Minggu, 29 Januari 2023 | 13:00 WIB

Koalisi Istana Pasti Akan Pecah

Sabtu, 21 Januari 2023 | 16:30 WIB

Erros Djarot: Lawan Mafia Tanah.!

Sabtu, 21 Januari 2023 | 15:00 WIB

Prihatin, Kompetensi BI Seperti Amatir

Sabtu, 21 Januari 2023 | 12:00 WIB

Pesta di Atas Adu Domba

Sabtu, 21 Januari 2023 | 10:15 WIB

Terpopuler

X