Ini akting yang bagus dari Giring di depan Presiden Jokowi. Giring tidak hanya ingin mengambil simpati hanya dari presiden, tapi terutama dari para pendukung presiden yang berada di kantong PDIP. Giring ingin menarik para pendukung Jokowi ke PSI.
PSI sekarang mengambil posisi terdepan untuk berhadap-hadapan dengan para pendukung Anies. Tentu, ini pilihan strategis yang telah matang diperhitungkan. Berhadapan dengan para pendukung Anies, PSI telah masuk di kubu para pendukung PDIP. Kalau sudah ada di dalam kubu para pendukung PDIP, akan relatif lebih mudah bagi PSI menggeser dukungan kader PDIP ke PSI. Cara yang jitu.
PSI sesungguhnya fokus menyasar para pendukung PDIP. Menyerang Anies adalah cara yang dipilih, dan sepertinya cukup efektif. Boleh jadi, bukan karena Giring gak suka sama Anies. Ini hanya soal pilihan strategi untuk PSI. Ah, kayak anda gak tahu saja watak para politisi kita.
Akan ada episode-episode berikutnya untuk memainkan strategi ini. Silahkan buka teori Lewis Coser "The function of Social conflict". Konflik sengaja dibuat untuk menciptakan solidaritas sosial baru. Nah, PSI nampaknya memainkan teori ini. Konflik dengan Anies untuk membuat secoci-sekoci yang anggotanya diambil dari para pendukung PDIP.
Bagi para pendukung Anies, serangan Giring juga menguntungkan. Dengan serangan Giring (Ketum PSI), para pendukung Anies muncul, menunjukkan dan memperkuat solidaritasnya. Lalu menggunakan semua persenjataan medsosnya untuk menyerang balik Giring dan PSI.
Terlihat seru, tapi semua punya kalkulasi politiknya. Semakin diserang, PSI juga merasa diuntungkan. Popularitas naik, simpati dari kelompok pendukung PDIP didapat.
Saling serang antara PSI dan para pendukung Anies memang tidak menguntungkan bagi PDIP. Ceruk PDIP lama kelamaan akan kegerus oleh PSI. Jika hal ini dibiarkan, PDIP akan banyak kecolongan suara di Pileg 2024.
Kesimpulannya: Lawan sesungguhnya bagi PSI adalah PDIP. Anies hanya instrumen untuk mengambil suara dari PDIP.