Saundur aing ti umbul, sadiri ti Pakancilan, sadatang ka Windu Cinta, cunduk aing ka Manguntur, ngalalar ka Pancawara, ngahusir ka Leubuh Ageung, na leumpang saceundung kaen -Jaya Pakuan-
Kutipan di atas merupakan salah satu bait naskah Perjalanan Bujangga Manik, seorang resi pengembara dari Kerajaan Sunda. Naskah dengan menggunakan Bahasa Sunda Buhun ini diperkirakan ditulis pada awal abad ke-16 mengungkapkan perjalanan Bujangga Manik ke tempat-tempat di Pulau Jawa dan Bali. Kehadiran naskah kuno ini dapat menjadi salah satu rujukan cara yang tepat membangun pertalian antara manusia modern dengan sejarah leluhurnya kemudian direkatkan dan dihubungkan. Bagaimana pun, dalam tradisi Sunda sejak era leluhur hingga sekarang masih terpatri semangat keterhubungan antara alam masa lalu dengan masa kini seperti tertuang dalam naskah Galunggung yang ditulis oleh Darmasiksa pada abad ke-12.
Manusia Sunda modern tentu akan mengalami kesulitan menerjemahkan naskah-naskah kuno yang pernah ditulis oleh leluhurnya sendiri. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor: Pertama, perubahan bahasa dan dinamikanya berjalan sedemikian cepat, kosa kata lama dapat dengan mudah berubah baik pelafalan atau bentuk dalam tulisannya. Kedua, ribuan kosa kata lama sudah jarang digunakan lagi oleh penutur, secara perlahan mengalami kepunahan, hal ini disebabkan oleh ketidakberadaan satu lembaga pelestari bahasa di masa lampau.
Ketiga, kepunahan ribuan kosa kata berbanding lurus dengan pengabaian pemilik bahasa daerah terhadap unsur-unsur kebudayaan di luar bahasa yang telah diwariskan oleh leluhur. Misalnya, jika dalam beberapa dekade ke depan tarian Sunda seperti Jaipong hilang dari kehidupan, secara perlahan kata:Jaipong sendiri akan jarang dituturkan, dalam beberapa generasi ke depan akan hilang sama sekali. Keempat, kekayaan kosa kata terus bertambah sebagai percampuran dari ragam bahasa lain secara temporer, bahkan kosa kata serapan ini pada akhirnya dimasukkan juga ke dalam kosa kata baru oleh lembaga bahasa.
Kelima, penutur Bahasa Sunda Buhun memang sudah jarang ditemui, hal ini disebabkan oleh pranata pendidikan nonformal lambat berdiri daripada lembaga pendidikan formal yang dibangun oleh Belanda di Tatar Sunda. Sudah tentu, para siswa di lembaga pendidikan formal kolonial akan lebih dididik mempelajari disiplin ilmu modern, linguistik kontemporer seperti undak-usuk bahasa dengan tingkatannya.
Kendati, bahasa ibu suatu daerah disangsikan mengalami kepunahan, paling tidak langkah untuk mengembalikan kembali sejumlah kosa kata yang hampir mengalami kepunahan harus diambil oleh lembaga pendidikan dan gerakan sosial masyarakat. Tanpa langkah dan strategi pelestarian bahasa, kita akan mengalami kesulitan mempertahankan, melestarikan, apalagi memberi makna secara harfiah tekstual terhadap banyak kosa kata. Bahasa sebagai salah satu unsur budaya bersifat sekular harus dihindarkan dari upaya penerjemahan dan penafsiran sakralisasi, misalnya dengan menganggap hanya bahasa tertentu yang akan menjadi bahasa manusia di kehidupan setelah kematian. Jika hal ini masih terus berlangsung akan memunculkan sikap apriori dan pembiaran terhadap bahasa ibu yang seharusnya menjadi bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari.
Kutipan naskah Bujangga Manik di awal tulisan memuat beberapa kosa kata yang sulit diterjemahkan ke dalam bahasa modern namun memiliki korelasi dengan suatu hal yang ada di dalam kehidupan sekarang. Leubuh Ageung sebuah pelataran luas di area terdekat dengan istana kerajaan, tempat pertemuan besar, ruang publik dengan beragam anasirnya dapat diberi tafsir sebuah alun-alun. Dapat saja situasi Leubuh Ageung sebagai ruang publik istana akan berbeda dengan kondisi alun-alun modern. Hal penting darinya yaitu kehadiran ruang publik dengan beragam papaes dan ornamennya menjadi syarat mutlak kemandirian sebuah wilayah.
Walang Sangha dan Buruan
Selain penggunaan frasa Leubuh Ageung, Bujangga Manik juga menggunakan kata lain untuk menyebutkan tempat luas di areal terdekat dengan istana kerajaan yaitu Walang Sangha dan Buruan. Penggunaan kata yang berbeda dalam menyebutkan tempat luas oleh Bujangga Manik disertai pemaparan dan penyebutan posisi, letak, dan hal yang ada di sekitar tempat tersebut. Ketika menggunakan frasa Leubuh Ageung, penutur pantun mengawalinya dengan keberadaan ornamen dan tempat lain seperti: umbul-umbul, pakancilan, tempat terluar istana, windu cinta, pancawara atau areal transaksi seperti pasar, baru kemudian sampai di Leubuh Ageung tempat terluas di luar Istana.