Perlu dipahami bahwa nasib capres, beda dengan cawapres. Kalau capres, jauh-jauh hari relatif bisa dibaca. Meski tidak bisa hitam putih. Sementara capres baru nampak injury time. Apa yang menentukan?
Ada tiga pertimbangan untuk menentukan cawapres. Pertama, partai. Terutama partai-partai besar, mereka bisa sodorkan cawapres dengan jaminan tiket partai.
Kedua, elektabilitas. Kalau elektabilitasnya tinggi, dan dianggap bisa menjadi penentu kemenangan, maka ini akan menjadi pertimbangan untuk dijadikan cawapres.
Ketiga, logistik. Elektabilitas pas-pasan, tapi duitnya banyak, maka bisa dipilih jadi cawapres.
Namun yang pasti, nasib cawapres akan ditentukan oleh partai pengusung. Mereka akan melihat bagaimana elektabilitasnya dan duitnya. Kalau dua ini ok, peluang untuk menjadi cawapres akan besar. Dalam konteks ini, Sandiaga Uno, Erick Thohir dan AHY punya kans besar.
Namun Khofifah punya NU Jawa Timur yang pemilihnya 30 juta. Dan Ridwan Kamil punya warga Jawa Barat dengan pemilih 34 juta. Apakah memilih kedua kepala daerah menguntungkan secara elektoral? Bisa jadi!
Semua punya peluang. Dan peluang itu akan bergantung pada dinamika jelang pendaftaran Pilpres 2024.
Kasus 2019 dimana Kiai Ma'ruf Amin yang terpilih, ini bisa terulang di 2024. Tahu-tahu Gus Yahya Staquf, ketua PBNU ini yang jadi cawapres. Tak menutup kemungkinan Jokowi jadi cawapresnya Prabowo, ini juga seru. Boleh jadi Ahok dan Gibran akan muncul juga namanya di tahun-tahun terakhir jelang Pilpres. Semua peluang masih terbuka.