Kang Warsa
Gemar Baca Tulis
Film-film bergenre fiksi ilmiah telah menjadi tontonan menarik berbagai kalangan, apalagi jika di dalamnya memuat pergolakan dan pertempuran antara para superhero pelaku kebaikan dengan tokoh-tokoh protagonis kemudian dilengkapi dengan kemunculan piranti-piranti canggih. Bagaimanapun, film tetap film, hasil imajinasi dan kreasi manusia, pemindahan alam realita ke dunia ide atau sebaliknya pemindahan alam ide ke dunia mayapada. Kendati demikian, tidak sedikit kehadiran film bergenre fiksi ilmiah telah mendorong manusia untuk mewujudkan piranti-piranti canggih agar benar-benar mejadi barang yang dapat dipakai oleh manusia di alam marcapada, dunia realita.
Jauh sebelum gawai-gawai canggih, misalnya ponsel cerdas digunakan oleh manusia, ide tentang kehadiran gawai-gawai canggih ini telah muncul dalam film bergenre fiksi ilmiah empat hingga dua dekade lalu. Dalam film kartun Flash Gordon ditampilkan komputer maha canggih milik Kaisar Ming, selain dapat dikendalikan dari jarak jauh juga merupakan komputer cerdas dengan layar sentuh. Senjata-senjata yang digunakan oleh tokoh-tokoh dalam film ini juga merupakan laser-laser canggih seolah penggunanya tidak perlu susah payah melakukan pengisian ulang.
Film-film superhero bergenre fiksi ilmiah mulai dipindahruangkan dari kartun ke dalam film-film dengan tokoh dan karakter manusia sejalan dengan perkembangan di bidang infotech. Enam sampai empat dekade lalu, manusia hanya dapat menyaksikan aksi heroik para superhero dengan membaca komik atau film kartun seperti dijelaskan sebelumnya.
Sekarang, adegan para pemberani ini dapat kita saksikan di bioskop hingga ponsel-ponsel cerdas dalam genggaman. Seolah menjadi hal yang tampak nyata. Kehadiran para superhero benar-benar seperti dekat dengan diri kita. Hormon Dopamin dalam diri manusia meningkat ketika menyaksikan aksi para superhero, dalam diri kita juga muncul keinginan mencontoh mereka memberantas kejahatan, meminimalisasi teror para pelaku makar. Kenapa demikian? Karena film-film ini dibuat selaras dengan cita-cita ideal manusia, menginginkan kemapanan, kerapihan, kebaikan, dan keselaran mewujud di dalam kehidupan nyata.
Mewujudkan aksi para superhero di dalam film ke dunia nyata secara gamblang memang tidak semudah imajinasi kita. Bagaimana mengimitasi kehebatan seorang Spiderman menciptakan jaring perekat agar kita dapat berayun-ayun di antara kerapatan gedung-gedung beton. Hal nyata yang terjadi justru, kehebatan Spiderman itulah yang telah mencontoh sistem kerja laba-laba dalam membuat sarang dan memproduksi jaring melalui spinneret pada bagian tubuh belakang satwa dari kelas Arachnida ini.
Dalam film Spiderman muncul satu konklusi, pemaduan antara manusia dengan laba-laba telah melahirkan sosok baru, mahluk kuat namun baik yang selalu menjaring para pelaku kejahatan dengan caranya sendiri. Spiderman tidak memerlukan alasan penangkapan para pelaku kejahatan harus dilengkapi oleh surat perintah dari atasan, dilengkapi oleh seperangkat aturan dalam bentuk undang-undang atau peraturan lainnya karena naluri kebaikan setiap manusia dapat dengan jernih menjadi pemindai bahwa kejahatan harus dihentikan.
Itulah alasan, sikap para superhero akan sulit diwujudkan dalam kehidupan nyata yang dipenuhi oleh beragam kesepakatan. Adakalanya, seperti pernah saya contohkan dalam artikel Menyoal Jejak Langkah Manusia yang dimuat oleh media ini, di dalam kehidupan nyata, justru para buto glundung pelaku onarlah yang selalu tampil sebagai pemenang dan mengalahkan para superhero pelaku kebaikan.