Oleh: Mohammad Sabri, Dr., MA.
Direktur Pengkajian Kebijakan Pembinaan Ideologi Pancasila
Hari ini, aku mencoba mengenang kembali dan "menapak tilasi" kebaikan Kereta Api Indonesia" (KAI), yang pernah membawaku--sebagai aktivis mahasiswa di era 80-an--dalam sebilah perjalanan panjang dan genting: Surabaya-Jakarta (Pasarturi-Gambir) yang memangsa waktu tempuh tak kurang dari 17 jam.
Perjalananku pagi ini, yang disaput lembut mentari dhuha, dimulai di detak waktu 09.20 wib. Dengan kereta eksekutif Argo Bromo Anggrek (ABA), aku pun bertolak dari Stasiun Pasarturi Surabaya ke Stasiun Gambir Jakarta, dalam satu lintas kenangan yang tak tunai dengan kalam.
Sekira, 33 tahun silam, KAI dengan manajemen "benang kusut" yang akut, sebagai aktivis mahasiswa, aku berbaur dengan masyarakat-publik menggunakan jasa kereta api yang membawaku dengan rute perjalanan sama: Surabaya-Jakarta.
Bagiku, KAI adalah "sahabat," juga "tugu ingatan" yang menyelamatkan serangkaian kenanganku di jagat aktivis mahasiswa yang penuh nafas idealisme. Di KA, suasana tak "nyaman" selalu mengepung dan menggedor ruang sadarku menyusul "kisah-peristiwa" yang berpaut: penumpang yang over load, akibatnya, koran menjadi alternatif spasial "mewah" untuk sekadar duduk dan "tidur" sepanjang perjalanan, bau pesing toilet yang menyengat hingga ke ubun-ubun, udara panas-pengap yang mengerkah tubuh dan jiwa, paduan "suara bising" penjaja aneka makanan dan minuman hangat-dingin yang berlomba sengit merebut pangsa 'pasar', dst..dst.
Sepanjang perjalanan Surabaya-Jakarta, sebab itu, tak sedikit kisah "indah" yang mekar-berkelindan: gerah, bising, pesing, gaduh, sumpek, raungan suara KA yang genit, jenaka, dan juga rindu-dendam yang bertalu.
"Apel, apel, apel". "Aqua, qua, qua..". "Dodol, dodol., doool", "teh dingin, sprite dingin, kopi anget", "nasi kuning, nasi rames".."kacang, kacang, kacang"...
Di celah dentuman perang "suara" dan seteru hasutan-rayu strategi-promotif para penjaja makanan dan minuman yang menggema di seluruh gerbong, tiba-tiba segenap "kisah-peristiwa" di gerbong itu bermetamorfosis dalam benak dan jiwaku: menjelma orkestra laksana kidung-kidung yang melodius apik-harmoni, dan eksotik. Sebagai mantan aktivis mahasiswa, sungguh, "pelbagai kisah-peristiwa" yang berlangsung "seru" di dan "bereksistensial" dalam gerbong, bagiku amsalkan "miatur kehidupan" yang mempersembahkan butir-butir mutiara-makna tak tepermanai.
Aku tersentak--dalam permenunganku (tepatnya, lamunanku) mengeja kembali jejak silam yang tersisa dalam ingatan--hari ini, di atas kereta eksekutif Argo Bromo Anggrek, "nuansa" yang hadir justru demikian kontras: gerbong-gerbong apik ber-AC, tersedia Wi-Fi dengan signal kuat, tempat duduk empuk-nyaman dan dapat distel untuk santai dan tidur, tawaran aneka makanan dan minuman dari "pramusaji" anggun yang mekarkan senyum kembang dan anyaman keramahan melati, tak kalah dari pramugari cantik perusahaan-perusahaan maskapai kita, toilet bersih, tersedia TV, fitting charge hp, dan juga kembang segar di samping pintu lintas-gerbong, terjepit indah.
Di titik ini, haru-biru dan aroma mawar melimbur penuh rongga dadaku. Lamat-lamat, kudengar suara-bukan suara, bermuasal dari sunyi-senyap yang mutlak, texere Dei, mengguncangku kembali:
"Maka nikmat Tuhanmu manakah yang engkau dustai dan tampik?"
Aku tafakur
dan berkaca-kaca..
Di atas kereta eksekutif
Argo Bromo Anggrek.. dan jejak almanak: 29 Juli 2022.
