Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Diskusi Pubilk, Diselenggarakan oleh Forjis, di Rumah Kedaulatan Rakyat, Jl. Guntur No 49, Jakarta.
1. Pembangunan Ekonomi dan Industri lemah, bergantung pada sektor komoditas, yaitu sektor minerba dan perkebunan besar seperti sawit, karet. Fluktuasi harga komoditas menentukan performa ekonomi, mengakibatkan boom-bust ekonomi Indonesia.
2. Sebelum era Reformasi, ketika era Orba, kebanyakan sumber daya alam dikuasai oleh negara, melalui BUMN. Kenaikan harga komoditas dinikmati oleh BUMN, tercermin dalam pendapatan negara, dan dibelanjakan untuk kesejahteraan rakyat.
3. Salah satu dampak Reformasi, pengelolaan dan “kepemilikan” kekayaan alam beralih dan terkonsentrasi di perusahaan swasta, khususnya perkebunan sawit, tambang batubara, dan tambang mineral lainnya.
4. Eksploitasi sektor komoditas perkebunan dan pertambangan oleh swasta, di era reformasi ini sangat masif. Lonjakan harga komoditas sejak awal 2000 hingga pertengahan 2008, dan 2009-2011 dinikmati oleh sekelompok kecil korporasi dan pengusaha.
5. Ekses reformasi dan eksploitas kekayaan alam membuat korupsi lahan perkebunan dan pertambangan semakin tidak terkendali, dilakukan oleh para pengusaha dan kepala daerah atau pejabat kementerian, atau kekuasaan partai politik.
6. Salah satu dampak terburuk, kesenjangan sosial meningkat tajam. Sekelompok kecil masyarakat menikmati kekayaan ekonomi sangat besar. Kekayaan terakumulasi pada segelintir orang.
7. Kebijakan fiskal pro-orang kaya, tarif pajak orang kaya dikurangi signifikan, membuat kesenjangan sosial semakin buruk dan pemberantasan kemiskinan lumpuh.
8. Jumlah penduduk miskin dengan pendapatan 5,5 dolar AS per orang per hari, kurs PPP 2011, atau setara sekitar Rp30,500 mencapai 150,2 juta orang, atau 56,1 persen dari jumlah penduduk, pada 2018.
9. Ekonomi Indonesia semakin tidak berdaya. Pembangunan Industri gagal. Eksploitasi kekayaan alam semakin menjadi-jadi.
10. Seiring dengan anjloknya harga komoditas sejak 2011, membuat neraca transaksi internasional (transaksi berjalan) mengalami defisit akut yang semakin membesar. Keuangan negara juga semakin buruk, pertumbuhan penerimaan negara melemah, defisit anggaran meningkat tajam, utang negara meningkat tajam, naik dari Rp2.608 triliun pada 2014 menjadi Rp6.900 triliun pada 2021.
11. Defisit transaksi berjalan membuat uatng luar negeri meingkat tajam, dimotori oleh pemerintah dan BUMN. Utang luar negeri naik dari 41,8 persen, dari miliar dolar AS pada 2014 menjadi 416 miliar dolar AS pada 2021. Kenaikan utang luar negeri dimotori oleh utang pemerintah dan BUMN yang masing-masing naik 61,7 persen dan 92,4 persen.
12. APBN semakin rentan:
a. Rasio penerimaan pajak terhadap PDB turun dari 11,4 persen pada 2014 menjadi hanya 9,1 persen pada 2021.
b. Rasio utang terhadap PDB mulai menanjak, dari 20,4 persen pada 2014 menjadi 40,7 persen pada 2021.
c. Dengan jumlah utang semakin besar, beban bunga juga semakin besar, rasio beban bunga terhadap penerimaan pajak naik dari 11,6% menjadi 22,2%.
13. Keuangan negara diujung tanduk, akhirnya rakyat yang menderita. Pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen, dan memperluas barang kena pajak.