Prasyarat kedua bahwa undang-undang yang dibutuhkan untuk mengatasi “kegentingan memaksa” belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, juga tidak terpenuhi. Karena, Indonesia sejauh ini sudah mempunyai berbagai macam undang-undang yang sangat memadai untuk mengatasi kondisi krisis, antara lain UU No 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, yang baru saja dibuat di masa pemerintahan Jokowi.
UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan tersebut sangat memadai mengatasi potensi krisis ekonomi dan keuangan. Sebagai bukti, undang-undang ini tidak ikut diubah di dalam PERPPU Cipta Kerja.
Artinya, tidak ada kekosongan hukum, sehingga prasyarat ketiga juga tidak terpenuhi.
Selain itu semua, mengatasi potensi stagflasi dan resesi ekonomi dengan menerbitkan PERPPU Cipta Kerja merupakan kebijakan yang tidak tepat dan salah kaprah. PERPPU Cipta Kerja terdiri dari banyak UU, yang ironinya tidak relevan dan tidak mampu mengatasi stagflasi atau resesi ekonomi.
Karena resesi ekonomi adalah suatu kondisi di mana permintaan turun tajam sehingga terjadi over-supply yang akhirnya memicu PHK. Maka itu, Cipta Kerja bukan solusi. Karena, industri yang sedang dalam kondisi over-supply tidak mungkin melakukan investasi (untuk meningkatkan supply).
Dengan demikian, PERPPU Cipta Kerja tidak memenuhi 3 prasyarat yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi. Karena itu, PERPPU Cipta Kerja cacat prosedur: berarti presiden Jokowi melanggar konstitusi?
Oleh karena itu, DPR wajib menolak PERPPU Cipta Kerja yang inkonstitusional tersebut.
Rakyat wajib mengawasi DPR agar mengambil keputusan yang konstitusional.
Rakyat wajib memberi sanksi kepada DPR, dalam hal ini partai politik, yang melecehkan konstitusi dengan memberi persetujuan dan pengesahan terhadap PERPPU Cipta Kerja yang secara jelas melanggar konstitusi.