EDJ: Nah itu juga. Nanti peran saudaranya [Erick] ini kan harus dipikirkan juga. Jadi jangan cuma karena dia beruang. Teman-teman di NU bahkan Menteri Agama sudah begitu. Ini kenapa ukurannya uang?
BH: Tapi uang itu, mau enggak mau, tidak boleh menutup mata. Di Filipina, Bong bong itu kan kuatnya melalui medsos, berhasil itu. Walaupun itu karena dia pasangan dengan anak Duterte.
EDJ: Siapa sih yang berani menentang, kalau berani lewat lah. Nah, kalau yang Ganjar ini saya punya keyakinan bahwa rakyat itu dengan sendirinya patungan. Saya yakin. Ibu-ibu ada yang bilang tak dol motor ku [aku akan jual motorku untuk dukung Ganjar].
BH: Tapi kalau ada kritik, Ganjar itu jagonya memang di media sosial. Memang media sosial itu sangat menarik. Tapi prestasi riil nya itu apa saja? Itu juga jadi pertanyaan. Jangan-jangan mas Ganjar ini merefleksikan orang yang bisa sangat popular karena jago di medsos.
EDJ: Nah ginilah…Jokowi kan sama saja. Bayangin dari Solo, baru satu setengah tahun langsung nasional.
BH: Tapi dia yang kedua dong.
EDJ: Yang di DKI
BH: Oh ya. Kan sebagai wali kota dia cemerlang. Prestasinya banyak.
EDJ: Untuk hal itu kita bisa debatable. Mungkin kelemahan Ganjar memang ada. Bahwasanya dia tidak suka mengumbar prestasi atau memang tidak punya prestasi. Tapi kalau kita lihat kehidupan di Jawa Tengah adem ayem. Dan buktinya dukungannya begitu besar. Rakyat itu tidak mau mendukung begitu saja. Jajak pendapatnya membuktikan itu.
BH: Jajak pendapatnya independen.
EDJ: Sudahlah kita ini, orang-orang seperti kita ini, ya beri jalan sajalah. Misal, kenapa sih harus memberangus Anies. Biar saja dia maju, kalau perlu beri dia informasi yang bagus.
BH: Jangan-jangan karena membumihanguskan Anies malah dia tambah lebih populer.
EDJ: itu kan sudah diperhitungkan. Walaupun memang karena banyak ‘jubah-jubah’ yang ditonjolkan oleh Anies ini jadi kurang menguntungkan. Nah, kemenangan Ganjar, dia berada di tengah. Dan ditengah itu lah yang menguntungkan di setiap Pilpres. Siapa pun yang merebut tengah itulah yang menang
BH: Tapi kalau kita fast forward ke 2024 ini kan pemilihan yang tidak ada incubentnya, karena Incumbennya tidak boleh lagi. Jadi itu benar-benar merefleksikan secara tradisional pertarungan antara kontinuiti dan perubahan, antara berkesinambungan dan perubahan. Jadi bagaimana gambaran atau peran pak Jokowi itu menggambarkan PDIP karena Jokowi itu petugas partainya PDIP.
Nah jika pemerintahan pak Jokowi itu tidak kinclong jelang Pilpres 2024. Seperti kita baca Kompas pagi ini lagi jatuh kan popularitasnya mungkin turun karena ada beberapa kejadian, maka kekuatan yang ingin adanya perubahan makin naik. Tapi sebaliknya kalau prestasinya kinclong maka mereka ingin kesinambungan. Siapapun yang dicalonkan, PDIP akan menikmati.