Watyutink.com - Malang benar nasib Tgk Munirwan, Petani sekaligus keuchik Meunasah Rayeuk, Kecamatan Nisam, Kabupaten Aceh Utara. Upayanya untuk meningkatkan hasil perolehan padi petani Aceh dengan melakukan inovasi atas benih padi IF8, mengantarkannya ke sel tahanan polisi. Tgk Munirwan diperkarakan Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh karena dianggap melanggar Pasal 12 ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, juncto Pasal 60 ayat 1 huruf b.
Padahal, inovasi yang dikembangkan Tgk Munirwan telah mengantarkannya menjadi Juara ke II tingkat Nasional ajang Bursa Inovasi Desa. Menteri Eko bahkan menyerahkan sendiri hadiah atas kemenangan tersebut. Polisi kemudian melepas Tgk Munirwan, setelah Menteri Desa Eko Putro Sanjoyo meminta agar penahanannya ditangguhkan. Kini Tgk Munirwan wajib lapor setiap hari kamis.
Bagi Tgk Munirwan, selain ketidaktahuan atas Undang-undang, dia juga merasa benih yang dikembangkannya sangat membantu para petani di desanya yang memanen hasil perdana sebanyak 11,8 ton padi. Hasil sebanyak itu merupakan “rekor” tersendiri di kawasan Aceh Utara.
Penahanan atas Tgk Munirwan, telah membuka selubung lebih jauh permasalahan petani di Indonesia. Selain terkepung masalah “laten” pertanian sejak masa pra tanam, tanam hingga paska tanam terkait persoalan perbenihan, pupuk, permodalan, dan juga distribusi hasil pertanian (baca : tengkulak), petani Indonesia ternyata juga “terbelenggu” oleh keterbatasan untuk bisa meningkatkan taraf hidup yang dilakukan melalui inovasi benih mandiri. Padahal, pada 2015 lalu telah dicanangkan program penciptaan 1000 Desa Mandiri Benih oleh pemerintah.
Apa sebenarnya yang menjadi masalah besar hingga inovasi yang dilakukan petani kok malah diperkarakan? Bukankah jika inovasi benih ternyata berhasil meningkatkan hasil panen, itu artinya mendukung program pemerintah untuk swasembada pangan?
Inovasi benih yang dilakukan petani, diketahui tidak hanya dilakukan oleh Tgk Muniwan. Sebelumnya, Surono Danu petani asal Lampung lebih dulu dikenal publik dengan inovasi benih padi yang diberi nama “Sertani” dan “EMESPE-1”. Benih Surono Danu juga berhasil meningkatkan hasil panen dua kali dari biasanya atau sekitar 14 ton, disamping tahan air dan hama. Inovasi Surono Danu bahkan telah ditanam di seluruh Indonesia. Sayangnya, inovasi yang dilakukan petani asal desa Onoharjo, Lampung Tengah tersebut kurang mendapat sambutan memadai dari otoritas pertanian, apalagi dijadikan program nasional pemberdayaan benih padi.
Selain Tgk Munirwan dan Surono Danu, di Indramayu ada Wa Darmin, tokoh pemulia benih yang mendapatkan penghargaan Apresiasi Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) kategori petani pemulia, Universitas Brawijaya dan Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI). Inovasi benih Wa Darmin juga berhasil meningkatkan hasil panen petani menjadi 11-11,5 ton per hektar. Kelebihan benihnya, hanya menggunakan perlakuan organik dan tak perlu pupuk kimia.
Sepertinya dengan tiga tokoh di bidang inovasi benih di atas saja, Indonesia tidak akan kekurangan benih unggul guna meningkatkan hasil pertanian. Tentu saja juga bisa memperbesar peluang ketahanan dan kemandirian pangan rakyat, juga tidak butuh impor beras.
Sudahkah kerja hebat para pemulia benih padi dijadikan platform untuk program kemandirian pangan rakyat? Sedangkan konon, Wa Darmin saja tidak tahu dan tidak dilibatkan dalam program penciptaan 1000 Desa Mandiri Benih?