Watyutink.com - Kabar tak sedap jelang ulang tahun ke-74 kemerdekaan RI datang dari pengelolaan anggaran dan belanja negara. Belanja negara melalui APBN meningkat tajam dari Rp400 triliun pada 2004 menjadi lebih dari Rp2000 triliun pada 2017-2018, namun efektivitasnya justru menurun.
Kenaikan APBN setiap tahun dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki berbagai kualitas sektor yang menjadi pendukung pergerakan ekonomi. Sayangnya, realisasi besaran pertumbuhan berada di bawah target. Belanja pemerintah belum optimal.
Salah satu sumber masalah ada pada belanja kementerian dan lembaga negara pada 2017-2018. Dalam hitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kenaikan belanja kementerian sebesar 11 persen selama periode tersebut seharusnya memberikan kontribusi sebanyak 0,66 persen pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Sayangnya, kenaikan anggaran belanja kementerian sebanyak 11 persen itu ternyata hanya berkontribusi 0,24 persen. Ada selisih sebanyak 0,42 persen yang mengindikasikan belanja yang tidak tepat sararan. Adakah perencanaan yang kurang matang? Kendala apa yang dihadapi saat merealisasikan program? Mengapa efektivitas APBN tidak lagi optimal?
Bappenas menemukan fakta bahwa peningkatan belanja kementerian/lembaga dalam beberapa tahun terakhir belum optimal meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Seharusnya, setiap peningkatan belanja kementerian/lembaga sebesar 1 persen memiliki andil 0,06 persen terhadap pertumbuhan ekonomi. dengan begitu, kenaikan belanja kementerian/lembaga sebanyak 11 persen akan memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi sebesar 0,66 persen.
Realisasi belanja negara sejak 2011 hingga 2018 naik tajam, dari Rp1.294 triliun menjadi Rp2.269 triliun. Peningkatan tersebut tidak terrefleksi pada pertumbuhan ekonomi yang justru membentuk pola U. Pada 2011, ekonomi tumbuh 6,16 persen, turun menjadi 4,79 persen pada 2015 dan naik kembali ke 5,17 pada 2018.
Kinerja belanja negara juga mengalami kemerosotan di tingkat sektoral. Sepanjang 2013-2017, misalnya, belanja di bidang jasa pendidikan memiliki elastisitas sebesar 0,39 persen atau tertinggi keempat setelah konstruksi, jasa keuangan, dan administrasi pemerintahan. Namun peringkat pendidikan Indonesia berdasarkan The Program for International Student Assessment hanya berada di posisi 63 dari 73 negara yang disurvei pada 2015.
Kemanakah dana itu mengalir? Apakah sudah benar-benar dibelanjakan ke sektor produktif atau sekadar mengejar target menghabiskan dana agar terlihat realisasinya tinggi? Apakah porsi belanja negara sudah seimbang antara operasionan dan belanja modal? Sudahkah pemerintah mengevaluasinya? Apakah pemerintah sudah menetapkan tujuan dari setiap belanja yang dikeluarkan?
Apa pendapat Anda? Watyutink?