Watyutink.com - Di tengah hiruk pikuk peristiwa politik dan heboh kinerja perekonomian nasional, kiranya tidak salah jika perhatian dialihkan sejenak pada sektor paling mendasar dari usaha-usaha kerakyatan di desa dan pinggiran kota, yang terus saja tergerus oleh menjamur nya pendirian ritel-ritel modern.
Sampai November 2017 lalu, Menteri Enggartiasto menengarai bahwa warung-warung tradisional telah kalah oleh ritel modern yang menjamur sampai ke desa-desa.
Menteri Enggar menyebut, kalahnya usaha warung rakyat lebih karena ketiadaan tempat yang memadai untuk berjualan dibandingkan dengan ritel modern. Lagipula, usaha warung rakyat hanya bisa berjualan di pasar yang bau dan dengan harga jual yang kadang lebih mahal dari harga barang ritel moden. Hal itu disebabkan oleh kemampuan menyiapkan barang siap dijual toko tradisional lebih sedikit volumenya dibandingkan ritel modern, yang mampu membeli barang siap dijual dalam partai banyak.
Sampai 2011 saja, jumlah toko tradisional turun sebesar 1,5 persen. Dampak paling parah penurunan toko tradisional terjadi di pedesaan sebesar 5,8 persen pada 2007 -2010. Pada 2009 jumlah toko tradisional mencapai 2,558 juta. Tetapi pada 2010 turun menjadi 2,524 juta toko yang merupakan penurunan terbesar dibandingkan dengan 2007-2009.
Menjadi pertanyaan, sampai dengan era 2014-2018, sampai dimana upaya pemerintah untuk melindungi sektor tradisional di perkotaan dan perdesaan? Sementara, pertumbuhan ritel modern terakhir bahkan telah menembus angka 13,000 sampai 16.000 gerai di seluruh Indonesia? Mengapa regulasi tentang pengaturan ritel modern tidak juga efektif membendung berdirinya ritel moden sampai ke pelosok desa?
(baca juga : Membincangkan-Kembali-Penguatan-Ekonomi-Kerakyatan)
Sepertinya, hal perlindungan kepada sektor tradisional usaha rakyat harus terus menerus digaungkan, agar didengar oleh para pemangku kebijakan. Jika terus saja dibiarkan, maka bukan tidak mungkin rakyat di perdesaan akan lebih suka berbelanja di ritel moden dengan barang-barang yang sebetulnya bisa diproduksi oleh industri kecil di perdesaan.
Lagipula, upaya untuk merevitalisasi pasar-pasar tradisional agar tidak bau dan sumpek seperti disebutkan Menteri Enggar seharusnya dengan segera dilakukan. Agar menumbuhkan minat masyarakat kembali berbelanja di pasar tradisional. JIka dapat segera diwujudkan, maka hal itu bisa sebagai “kampanye” bahwa pemerintah memang berpihak pada sektor usaha tradisional.
Satu hal lagi yang paling penting, regulasi untuk membendung agresivitas pendirian ritel-ritel modern yang berdiri sampai di desa-desa, harus kembali diperhatikan, terutama oleh birokrasi pemerintahan sampai ke tingkat desa.