Watyutink.com - Mengelola wilayah terjauh dari Pusat seperti Papua, membutuhkan cara pandang yang tidak hanya pendekatan material semata, terlebih pendekatan keamanan. Seni kepemimpinan, cara mengambil hati warga masyarakat dan manajemen pemerintahan yang memadai amat dibutuhkan. Pengertian “memadai” adalah terdapat satu kecukupan takaran model kebijakan, manajemen kontrol, disiplin anggaran serta yang lebih penting lagi memahami dengan utuh karakter budaya dan karakter wilayah atau geografis daerah setempat.
Pendekatan anggaran yang selama ini dilakukan terhadap Papua dengan mengandalkan penggelontoran dana Otonomi Khusus (Dana Otsus), dana desa, dana sharing dari saham korporasi/Freeport dan lain-lain, dianggap jauh dari memadai bagi kebutuhan sebenarnya yang diinginkan warga Papua. Bahkan pendekatan dengan model pembangunan fisik infrastruktur pun dianggap tidak cukup, untuk tidak menyebut kebijakan yang salah sasaran.
Statement Gubernur Papua Lukas Enembe bahwa Papua tidak membutuhkan pembangunan infrastruktur tetapi membutuhkan kehidupan, adalah tamparan memalukan bagi Jakarta. Ratusan kilometer jalan yang telah dibangun justru kurang dibutuhkan warga Papua, yang disebutkan lebih membutuhkan “sentuhan” Pusat untuk meningkatkan taraf hidup agar mampu memperbaiki daya beli dan harkat martabat penduduk.
Padahal, gelontoran dana Otsus sejak tahun 2007 telah diberikan berpuluh triliun rupiah (Rp67 triliun sejak 2001-2017). Namun, gejolak di tanah Papua tidak kunjung padam, malah semakin mengkhawatirkan beberapa waktu terakhir ini.
Sekadar berteori tentang apa yang sesungguhnya harus dilakukan terhadap Papua, memang bukanlah jawaban dari masalah yang timbul. Namun, labyrinth persoalan Papua yang multidimensi, memunculkan pertanyaan: Harus memulai dari mana menyelesaikan persoalan Papua?
Seperti halnya wilayah terjauh lain di ujung barat Indonesia seperti Aceh, yang juga diberikan hak Otonomi Khusus dan gelontoran dana Otsus tapi justru saat ini menjadi daerah termiskin di Sumatera, wilayah Papua sepertinya membutuhkan satu model pendekatan baru.
Merancang pendekatan baru tersebut harus dikaji melalui “duduk bersama” semua pihak, ahli ilmu-ilmu sosial, ekonomi, politik dan budaya untuk kembali melihat Papua dengan mata hati sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Bagaimanapun yang pertama harus disadari adalah, warga Papua adalah warga masyarakat yang paling sering mengalami musibah kematian karena kelaparan. Oleh karena itulah melihat dengan mata-hati terhadap persoalan Papua adalah dimensi yang amat dibutuhkan.
(Baca Juga : https://www.watyutink.com/topik/berpikir-merdeka/Papuaku-Sayang-Papuaku-Malang)
Bagi internal Papua, kejujuran mengungkap apa yang sebenarnya terjadi juga sebuah kebutuhan tersendiri. Terdapat kewajiban sharing sebesar dua persen dari DAU (Dana Alokasi Umum) untuk bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi kerakyatan dan infratruktur di seluruh Papua. Sudahkah masing-masing pimpinan wilayah dan Propinsi Papua mematuhi hal tersebut? Bagaimana pertanggungjawabannya?