Berharap Bijak dari Cukai Rokok

- Selasa, 17 September 2019 | 18:30 WIB
Ilustrasi watyutink  (gie/watyutink.com)
Ilustrasi watyutink (gie/watyutink.com)

Watyutink.com - Rencana Kenaikan cukai rokok sebesar 23 persen dan 35 persen bagi harga jual rokok pada tahun depan, sedikit banyak menimbulkan beberapa tambahan bahan diskusi bagi masyarakat. Apalagi bagi pemerhati sosial yang sedang meramaikan diskursus ihwal rencana kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan.

Cukai rokok selama ini menjadi salah satu andalan penerimaan negara selain pajak. Pada 2018 lalu, penerimaan negara dari cukai mencapai Rp159,7 triliun, yang terdiri dari cukai rokok Rp153 triliun, minuman (beralkohol) Rp6,4 triliun dan etil alkohol Rp0,1 triliun, serta cukai lainnya Rp0,1 triliun. Total realisasi penerimaan Bea Cukai bahkan menyentuh Rp205,5 triliun atau tumbuh 6,7 persen dibandingkan tahun 2017.

Itu artinya, target penerimaan cukai lebih besar dari yang ditetapkan dalam APBN 2018 sebesar Rp194 triliun. Berbeda dengan target penerimaan pajak yang malah kurang dari target, yakni hanya Rp1.316 triliun (92,4 persen).

Rencana kenaikan cukai rokok sebesar 23 persen, diharapkan akan mempunyai efek ganda yakni selain dianggap akan membantu menambah penerimaan terbesar negara dari cukai rokok (+9 persen), juga sekaligus akan menekan keinginan masyarakat Indonesia yang kebetulan menjadi perokok aktif dalam mengkonsumsi barang makruh tersebut. Karena jika cukai rokok naik tinggi, maka harga jual eceran rokok mau tidak mau akan naik. Kisaran kenaikan harga eceran rokok diperkirakan akan berkisar Rp30 – Rp35 ribu per bungkus.

Apakah kenaikan cukai rokok yang diperkirakan diikuti kenaikan harga jual eceran per bungkus, akan menambah angka kemiskinan akibat para perokok yang hidup “ngepas” akan memaksa membeli rokok? Sebab, BPS telah merilis bahwa inflasi antara lain disebabkan juga dari harga rokok yang sekaligus sebagai penyebab kemiskinan nomor dua setelah harga beras.

Namun, nampaknya belum bisa dipastikan juga kenaikan harga eceran rokok akan menaikkan volume penjualan. Sebab, para perokok akut tapi “ngepas” tadi diperkirakan juga akan merubah pola konsumsi menjadi hanya membeli separuh ketimbang harus merogoh kocek lebih dalam. Kecuali bagi perokok kaya, kenaikan harga rokok di bawah Rp50 ribu diperkirakan belum menjadi masalah.

Hal krusial lain dari dampak rencana kenaikan cukai rokok adalah—sebagaimana diributkan para pemerhati kenaikan iuran BPJS--jika subsidi energi saja bisa diberikan mencapai Rp157 triliun dan diperkirakan akan naik lagi pada 2020 mendatang, mengapa BPJS tidak kunjung diberikan subsidi dari cukai rokok untuk membantu menutup defisit BPJS? Bukankah negara-negara lain juga melakukan hal yang sama dengan memanfaatkan cukai rokok guna menunjang biaya kesehatan masyarakat? Apa sih keberatannya, ketimbang harus menaikkan iuran BPJS?

Memang, cukai rokok sebagai penerimaan negara terbesar selain pajak merupakan item yang diincar banyak pemerhati sosial sebagai objek yang bisa digunakan membantu menutup defisit BPJS. Selain beberapa usulan alternatif lain. Namun, pertimbangan tersebut tak kunjung ditanggapi serius.   

Nah, bisakah kenaikan cukai rokok nanti akan membawa manfaat selain bagi industri rokok dan penerimaan negara, juga bagi masyarakat yang sedang gelisah dengan rencana kenaikan tarif iuran BPJS?

Apa pendapat Anda? Watyutink?

OPINI PENALAR
-
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)
 
 

Persoalan alokasi pendapatan negara dari cukai yang dialokasikan ke subsidi BPJS, maka terlebih dulu harus dicari korelasinya secara ilmiah dan akademik. Apakah memang benar-benar rokok merupakan penyumbang penyakit paling besar sehingga harus ada kompensasi. Tetapi kalau hanya mengira-ngira sepertinya kebijakan alokasi bagi BPJS dari cukai rokok akan tidak punya dasar yang kuat sebagai alibi bagi pengalokasian untuk menutup subsidi BPJS.

Di negara lain yang telah menerapkan alokasi cukai rokok bagi kesehatan masyarakat, mereka juga pasti sudah mempunyai dasar/justifikasi/kajian ilmiah. Maka dari itu sebetulnya pemerintah harus punya kajian serupa, setidaknya harus ada korelasi secara akademik bahwasanya merokok merupakan penyebab penyakit degeneratif tertentu. Baiklah kita percaya bahwa merokok itu tidak sehat, tapi seberapa besar angkanya dan seberapa jauh dampaknya, hal itu yang perlu hasil kajian yang punya presisi tinggi.

Kalau itu sudah ada, maka nilai yang diperoleh dari hasil kajian dari seberapa besar angka dan seberapa jauh dampak merokok yang bisa dijadikan nilai dasar bagi pengalihan alokasi pungutan cukai rokok.

Memang, pada rilis inflasi BPS harga rokok merupakan penyumbang kemiskinan nomor dua setelah harga beras. Hal itu karena memang sifat rokok yang in-elastis, jadi seberapapun besarnya harga rokok, dia pasti dicari konsumennya. Karena perokok adalah konsumen loyal.

Halaman:

Editor: Oggy

Terkini

Siapkan Doping Ekonomi Hadapi Covid-19

Kamis, 26 Maret 2020 | 19:00 WIB

Ekonomi Tolak Merana Akibat Corona

Senin, 16 Maret 2020 | 19:00 WIB

Korupsi, Kesenjangan, Kemiskinan di Periode II Jokowi

Senin, 17 Februari 2020 | 14:30 WIB

Omnibus Law Dobrak Slow Investasi Migas?

Sabtu, 1 Februari 2020 | 17:30 WIB

Omnibus Law dan Nasib Pekerja

Rabu, 29 Januari 2020 | 19:45 WIB

Pengentasan Kemiskinan Loyo

Jumat, 17 Januari 2020 | 16:00 WIB

Omnibus Law Datang, UMKM Meradang?

Kamis, 16 Januari 2020 | 10:00 WIB

Kedaulatan Energi di Ujung Tanduk?

Jumat, 20 Desember 2019 | 19:00 WIB

Aturan E-Commerce Datang, UMKM Siap Meradang

Senin, 9 Desember 2019 | 15:45 WIB

Pertumbuhan Ekonomi Yes, Ketimpangan No

Senin, 2 Desember 2019 | 16:00 WIB

Upaya Berkelit dari Ketidakpastian Ekonomi Dunia, 2020

Kamis, 21 November 2019 | 18:15 WIB

Menunggu Hasil Jurus Baru ala Menteri Baru KKP

Rabu, 20 November 2019 | 10:00 WIB

Terpopuler

X