Dan selama ini kita memahami KPK adalah instrumen yang paling efektif untuk menjaga stabilitas dalam quote by quote koalisi, dan menjadi instrumen yang bisa mengendalikan partai politik.
Sekarang, setelah otoritas KPK dilemahkan, maka itu berarti presiden sedang menyerahkan kartu truf nya kepada partai–partai politik, dan kita akan melihat pada tahun ke tiga dimana UU KPK sudah berjalan, maka loyalitas partai politik terhadap presiden akan mengalami kegamangan di sana.
Oleh karenanya, sebenarnya mengonfirmasi apa yang menjadi tradisi pemikiran strukturalis bahwa kita sangat percaya dengan kekuatan civil society. Tapi pada saat yang sama kita juga menyaksikan tudingan kelompok strukturalis bahwa civil society cenderung terpolarisasi atau terfragmentasi, sekarang terbukti.
Contohnya, dalam tiga hari terakhir pada peristiwa pelemahan KPK, semua aliansi grup WA pengajar lintas perguruan tinggi telah berganti grup sebanyak tiga kali. Sudah keluar/left, tiba-tiba ada meng-invite lagi, begitu sampai tiga kali. Kecuali yang menggunakan nomor WA luar negeri.
Terdapat keanehan ketika para dosen ditelepon oleh nomor-nomor asing tidak jelas. Dan karena kami tidak bisa ditelepon maka dijapri terus oleh seseorang yang namanya saya catat, menanyakan perkembangan situasi.
Jadi, apa yang ditulis oleh kawan-kawan dari University of Melbourne, kawan-kawan dari Australian National Unversity, bahwa sekarang ada kecenderungan dari apa yang disebut dengan “Neo Suharto”.
Pada era Suharto sebenarnya ada narasi yang cukup baik, mengadopsi pemikiran neo Liberal Fungsionalis. Sebuah tradisi pemikiran ekonomi, bahwa pembangunan ekonomi akan signifikan terjadi ketika berada dalam posisi yang ditopang oleh stabilitas politik.
Kami melihat ada kecenderungan yang sama pada era sekarang dimana target-target ekonomi lebih dikedepankan, tetapi pada saat yang sama penegakan hukum tidak diberikan porsi yang memadai. Karena, terdapat statement dari stakeholder pemerintahan bahwa pemberantasan korupsi tidak boleh menciptakan instabilitas politik.
Padahal, sebenarnya faktanya harus dipahami bahwa kerja anti korupsi bukan sekadar kerja-kerja legal, tapi anti korupsi adalah kerja-kerja politik. Oleh karena itu Presiden, Perdana Menteri, Kanselir, memiliki political will of the top political leader, yang menjadi kunci dari berhasil atau tidaknya agenda pemberantasan korupsi.
CPIP di Singapore tidak akan bisa hebat menciptakan Singapura yang sangat bersih kalau tidak mendapatkan backup yang memadai dari Lee Kuan Yew. Kemudian di Hongkong juga sama, ketika Gubernur Jenderal Hongkong diberikan otoritas oleh Westminster melakukan pembersihan dari korupsi di tubuh kepolisian, jika tidak mendapatkan backup politik yang memadai, maka tidak akan berhasil.