Melumpuhkan KPK, Memuluskan Agenda Siapa?

- Jumat, 20 September 2019 | 14:30 WIB
Ilustrasi watyutink  (gie/watyutink.com)
Ilustrasi watyutink (gie/watyutink.com)

Nah, KPK sekarang telah ditinggalkan oleh Jokowi. Risikonya, bisa jadi Corruption Perception Index RI akan mengalami penurunan.

Kalau jokowi menargetkan investasi meningkat dan pertumbuhan ekonomi meningkat di tengah iklim ekonomi dunia (trade war) yang semakin mengkhawatirkan, dan kondisi ekonomi Indonesia juga cukup critical, maka trend ke depan Jokowi akan mengalami reduksi dukungan.

Lagipula, problem utama mengapa investasi asing yang masuk tidak kunjung membaik, sebabnya sudah bisa dikonfirmasi karena adanya ketidakpastian hukum.

Dan pelemahan KPK adalah indikator yang paling vulgar bahwa ketidakpastian hukum akan semakin terjadi. Mungkin sebagian akan mengatakan justru dengan melemahnya KPK maka akan mendorong pertumbuhan ekonomi, karena sebagaimana mazhab neo liberal tahun 70-an yang menganggap korupsi sebagai grease (oli) bagi berjalannya mesin ekonomi. Tapi pada saat yang sama pada 1998 kita sama-sama menyaksikan bagaimana pondasi kenegaraan kita hancur lebur karena korupsi. (pso)

Analis Bisnis/ Pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI)
 
 

Dunia dan Indonesia memang harus menyaksikan duet tango antara kubu "malaikat" vs kubu "pinokio". Semua pihak tentu merasa jadi "malaikat" baik Trump, Kim Jong Un maupun BoJo (Boris Johnson) dan Bolsonaro Presiden Brasil yang ditegur G7 gara-gara kebakaran hutan di Amazon. 

Bolsonaro berteriak dengan suara mantan presiden sayap kiri Lula bahwa Brazil tidak sudi cuma jadi satpam pengawas dan pemadam kebakaran untuk memelihara dan melestraikan hutan tropis Amazone. Lula ini dulu bersama Presiden SBY membentuk Forest koalisi negara hutan tropis untuk bargaining dengan negara maju yang selalu memojokkan negara tropis penghasil sawit dengan perambah hutan dan membahayakan .lingkungan. 

Nah, dalam konteks politik internal domestik, kita menghadapi isu dan masalah karhutla yang setara karena skala regional karhutla kali ini. Elite selalu pintar gonta ganti posisi untuk tetap jadi populis dan populer. begitu juga dengan isu KPK.

Sudah sejak zaman demokrasi liberal menteri rawan penahanan oleh lawan politik. Yang penting itu supremasi hukum, jadi right is right wrong is wrong, right or wrong is right or wrong,  Jangan di biaskan dengan right or wrong is my party, my corps, my country (jadi Nazi kalau kebablasan).

Memang ada dua mazhab Kumbokarno (right wrong my brother & my country) atau Wibisono (right or wrong is right or wrong).  Nah dalam konteks itulah maka "konflik DPR-KPK" bisa dilihat bahwa ternyata kualitas elite dari kedua kubu itu oknumnya tidak berbeda, semua merasa bisa jadi malaikat padahal semua juga bisa terpeleset jadi pinokio. Maka segala kasus seharusnya dilihat secara holistik komprehensif, jangan ada pinokio disembah kayak malaikat dan yang nyaris malaikat malah di down grade jadi "pinokio".  

Sejak awal Proklamasi, elite kita berebut kuasa dengan pelbagai cara "hoax tapi legal". Kalau sukses ya jadi penguasa formal, kalau gagal, ya dibui bahkan risiko tertembak mati karena konfliknya jadi pemberontakan dan penumpasan seperti PKI Musso Madiun yang menewaskan mantan PM ke-3 RI Amir Sjarifudin dan juga Tan Malaka ikut terbunuh, padahal dia Murba yang anti PKI Musso. 

Di zaman liberal itu ada juga Jaksa Agung yang berani melawan arus. Mr Gatot Tarunmiharja berani mengusul KOl dr Ibnu Sutowo dalam kasus barter Priok meski berakibat kecelakaan lalu lintas misterius dan Gatot diganti, hanya menjabat beberapa bulan.

Kol. Soeharto juga diberhentikan dari Pangdam Diponegoro 1959 karena terlibat barter dengan cukong di Jawa Tengah. Dia sudah akan dipecat oleh KSAD Mayjen AH Nasution tapi diselamatkan oleh Wakasad Gatot Subroto, dikursuskan ke Seskoad Bandung. 

Pada 13 Agustus 1956 Pangdam Siliwangi Kol AE Kawilawang bahkan berani menahan Menlu Ruslan Abdulgani yang akan berangkat memimpin delegasi RI ke konferensi PBB di London tentang Suez. Untung Menlu sempat telepon dari bandara Kemayoran ke PM Ali Sastroamijoyo yang buru-buru menelpon KSAD Nasution untuk menyelamatkan Menlu tetap bisa berangkat ke London.  AE Kawilarang sebetulnya sedang dalam proses menjadi Atase Militer di Washington DC.

Jadi di zaman liberal itu, RI gonta-ganti Perdana Menteri nyaris setiap tahun.  PM pertama Bung Karno yang memimpin kabinet presidensial pertama 19 Agustus 1945, mendadak 14 November 1945 diganti jadi kabinet parlementer dipimpin PM Sutan Syahrir dari Partai Sosialis. Setelah dua kali reshuffle dan lolos dari kudeta 3 Juli 1946 , Syahrir jatuh diganti Amir Syarifuddin juga dari Partai Sosialis, Amir akan meneken persetujuan Renville tapi DPR menjatuhkan Amir, dan kabinet diambil alih Wapres Moh Hatta. Amir malah ikut konflik Madiun dan tewas.

Setelah Hatta, Masyumi memimpin dua kabinet di bawah Natsir dan Sukiman. Lalu diganti oleh kabinet Wilopo dan Ali Sastroamojoyo dari PNI. Pada 1955 kabinet Burhanudin Harahap dari Masyumi menyelenggarakan pemilu terjujur karena yang menang adalah PNI dan bukan petahana Masyumi di nomor dua.

Halaman:

Editor: Oggy

Terkini

Siapkan Doping Ekonomi Hadapi Covid-19

Kamis, 26 Maret 2020 | 19:00 WIB

Ekonomi Tolak Merana Akibat Corona

Senin, 16 Maret 2020 | 19:00 WIB

Korupsi, Kesenjangan, Kemiskinan di Periode II Jokowi

Senin, 17 Februari 2020 | 14:30 WIB

Omnibus Law Dobrak Slow Investasi Migas?

Sabtu, 1 Februari 2020 | 17:30 WIB

Omnibus Law dan Nasib Pekerja

Rabu, 29 Januari 2020 | 19:45 WIB

Pengentasan Kemiskinan Loyo

Jumat, 17 Januari 2020 | 16:00 WIB

Omnibus Law Datang, UMKM Meradang?

Kamis, 16 Januari 2020 | 10:00 WIB

Kedaulatan Energi di Ujung Tanduk?

Jumat, 20 Desember 2019 | 19:00 WIB

Aturan E-Commerce Datang, UMKM Siap Meradang

Senin, 9 Desember 2019 | 15:45 WIB

Pertumbuhan Ekonomi Yes, Ketimpangan No

Senin, 2 Desember 2019 | 16:00 WIB

Upaya Berkelit dari Ketidakpastian Ekonomi Dunia, 2020

Kamis, 21 November 2019 | 18:15 WIB

Menunggu Hasil Jurus Baru ala Menteri Baru KKP

Rabu, 20 November 2019 | 10:00 WIB

Terpopuler

X