Watyutink.com - Kadin Indonesia menilai, saat ini perlu diperbanyak aturan-aturan Non Tariff Measure (NTM) sebagai instrumen untuk pengaturan barang impor yang menyerbu masuk ke Indonesia. Baik yang masuk dalam bentuk bahan baku, produk antara, ataupun barang jadi. Semua diusulkan dibuat dalam rangka melindungi konsumen lokal dan industri dalam negeri.
Usulan Kadin diajukan mengingat tarif bea masuk di Indonesia terlalu kecil setelah berlakunya kesepakatan perdagangan bebas internasional seperti FTA (Free Trade Area), AFTA dan lain-lain. Akibatnya, industri dalam negeri kurang kompetitif ketika menghadapi perdagangan bebas tersebut.
Dengan berlakunya NTM, diharapkan bisa diandalkan menjadi instrumen untuk melindungi industri dalam negeri, juga untuk stabilisasi harga barang-barang strategis.
Kebijakan NTM juga diharapkan bisa diselaraskan dengan aturan perdagangan internasional yang berlaku, terlebih saat ini banyak negara yang melakukan perlindungan industri dengan instrumen tarif dan nontarif. Khusus negara maju, cenderung membangun NTM dalam melindungi industri dalam negeri.
Bagi Indonesia, penerapan NTM dinilai perlu mengingat serbuan barang impor akhir-akhir ini memang melonjak, yang diperkirakan sebagai dampak perang dagang Amerika Serikat – China. Contoh yang paling akhir adalah lonjakan impor tekstil dan produk tekstil (TPT) yang meningkat 12,6 persen dari 7,58 miliar dolar AS pada 2017 menjadi 8,68 miliar dolar AS pada 2018. Begitu pula dengan impor baja, meningkat 13,5 persen dari 7 juta ton di 2017 menjadi 8,1 juta ton pada 2018. Kemudian impor ban (meningkat 38 persen), keramik (sampai akhir 2019 diperkirakan meningkat 50 persen), serta impor kosmetik yang meningkat 34,7 persen. (Katadata,10/10/2019).
Menjadi pertanyaan, apakah benar bahwa penerapan NTM nantinya potensial memiliki dampak ekonomi? Apa iya, berpengaruh juga terhadap perubahan harga, kuantitas barang serta memiliki implikasi lain terhadap perkembangan ekonomi?
Di lain hal, serbuan barang impor sepertinya sudah terjadi sejak era pemerintahan sebelumnya di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika itu, serbuan impor barang-barang murah dari China hampir setiap hari menghiasi berita surat kabar. Suara-suara agar pemerintah memperhatikan proteksi terhadap industri dalam negeri yang menunjukkan gejala deindustrialisasi juga sudah mengemuka.
Malangnya, sampai saat inipun, derita industri dalam negeri agaknya belum juga berhenti. Dibuktikan dari belum efektifnya perlindungan terhadap industri baja Krakatau Steel (KS) dan industri baja dalam negeri lainnya, yang menghadapi taktik dagang asing berupa impor baja dengan harga murah, jauh di bawah harga pasar produk baja dalam negeri. Belum lagi serbuan produk semen impor dan lain-lain.
Seberapa besar kiranya, Indonesia ingin melindungi industri dan pasar impor dalam negeri? Di tengah gejolak perekonomian dunia saat ini, apa saja yang perlu disikapi dari melemahnya permintaan pasar dunia?