Kementerian BUMN mempunyai pekerjaan rumah (PR) yang sangat berat, karena banyaknya BUMN yang masih rugi, terbelit utang yang terus naik, pembentukan holding hingga masalah di masing-masing BUMN seperti Garuda, Asuransi Jiwasraya, dan Krakatau Steel.
BUMN besar yang cukup mendapatkan sorotan publik perlu segera mendapatkan keputusan mengenai apa yang akan dilakukan pemerintah, karena hal ini akan menpengaruhi reputasi BUMN dan pemerintah.
BUMN yang merugi perlu ditinjau perlu tidaknya dipertahankan. Apabila tidak mempunyai prospek lagi atau terus merugi perlu ada keputusan untuk diakuisisi BUMN lain yang akan mampu menambah value chain,
Termasuk BUMN yang memiliki utang besar harus dievaluasi kembali apabila masih mempunyai prospek dan mampu untuk mengembalikan kewajibannya, atau bila dilanjutkan justru dapat merugi . Perlu diambil keputusan.
Mengenai rencana pembentukan holding BUMN, hal ini perlu dilanjutkan agar sesama perusahaan milik negara tidak saling bersaing, tetapi saling sinergi, berekosistem dan memberi nilai yang lebih besar. Selain itu, Good Corporate Governance BUMN perlu diimplementasikan, terutama yang belum go public dan PSO.
BUMN tidak lagi mempunyai hak monopoli tapi mempunyai kesempatan yang sama denga pelaku usaha lain. Itu PR penting dari Menteri BUMN. Wakil menteri memang diperlukan untuk mengawal implementasi kebijakan dan pencapaian KPI.
Tantangan menteri BUMN, ia akan berhadapan dengan politisi dan pemburu rente yang akan banyak kehilangan kesempatan. Peluangnya, bila mampu membenahi maka kontribusi aset dan laba akan meningkat.
Mengenai Kementerian Perindustrian, saat ini kurang fokus pada sektornya tetapi lebih pada sekadar masuknya investasi, selain lebih pada pemadam Kebakaran. Bila ada masalah baru ada kebijakan yang dikeluarkan.
Menteri Perindustrian perlu membuat arsitektur industri baru, karena era liberalisasi telah berubah menjadi era proteksionisme yang menyebabkan model pengembangan industri juga berubah ke arah global value chain.
Pengembangan industri ke depan harus fokus pada kebutuhan dari market yang ada dan tentunya dikaitkan dengan insentif agar memiliki daya saing yang beorientasi eksport. Selain itu, berikan skema insentif untuk substitusi impor, sehingga nilai tambah lebih tinggi. Apalagi jika tugasnya adalah mengurangi desifit neraca perdagangan.