Banyaknya buruh migran berangkat ke luar negeri dan justru meningkat dalam tiga tahun terakhir sampai dengan 2018, saya kira karena mereka berangkat secara sembunyi-sembunyi.
Indonesia pada 2012 sudah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Buruh Migran dan Keluarganya (UU No 6 tahun 2012). Untuk meratifikasi Indonesia biasanya cepat sekali, walaupun tidak mengerti apa konsekuensi-konsekuensi dari ratifikasi tersebut. Amerika Serikat saja sampai sekarang belum mau menandatangani Ratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik.
Ihwal moratorium sebenarnya adalah satu hal yang ironis. Saya pribadi menolak pemberlakuan moratorium pengiriman tenaga kerja ke 21 negara. Alasannya, karena rakyat kita masih perlu sekali pekerjaan. Di desa, akibat revolusi hijau orde baru, tidak ada lagi kaum perempuan desa yang dapat mencari penghidupan bagi keluarganya. Semua proses pertanian diganti dengan mekanisasi pertanian atau mesin-mesin.
Satu-satunya jalan untuk bertahan hidup di desa adalah bekerja sesuai dengan kemampuan masing-masing. Sementara pendidikan warga desa kebanyakan hanya SD atau SD tapi tidak tamat. Pekerjaan menjadi pembantu rumah tangga adalah satu-satunya pekerjaan yang mereka kuasai.
Menjadi pembantu rumah tangga menurut saya bukanlah dosa, tidak salah dan seharusnya bukan menjadi objek penghinaan. Justru karena pemerintah menganggap bahwa pembantu adalah pekerjaan rendah dan hina sehingga muncul prasangka-prasangka buruk. JikaTKW-TKW Indonesia dikejar-kejar majikannya lalu lari ke kedubes Indonesia, maka Dubesnya biasanya menyalahkan TKW tersebut, dan meminta untuk tidak membuat malu bangsa.
Saya kira harus dibangun persepsi yang sama dulu bahwa pembantu rumah tangga bukanlah pekerjaan salah dan dosa. Oleh karena itu siapapun warga negara yang datang mengadu harus dilindungi sebagai warga negara Indonesia.
Kita harus belajar dari negara lain seperti Filipina, India, mereka menghormati pilihan rakyatnya untuk menjadi pekerja apapun termasuk menjadi pekerja seks di luar negeri. Mereka harus dilindungi.
Di Indonesia kita punya lembaga-lembaga yang khusus menangani masalah-masalah buruh migran. Tetapi pada periode ke satu pemerintahan Jokowi tidak jelas kerjanya. Tidak ada yang diurus dan hanya sibuk mengurusi masalah politik. Termasuk juga LSM-LSM buruh migran. Hanya karena menjadi pendukung Jokowi mereka tidak lagi kritis terhadap isu-isu buruh migran.
Oleh karena itu para aktivis hak asazi seharusnya non partisan, agar tidak menderita split personality seperti sekarang.
Kalau ada kabar bahwa selama pemerintahan Jokowi I ada ratusan pekerja migran yang berhasil dibebaskan dari hukuman mati, maka harus segera diperiksa kebenaran datanya. Tidak bisa hanya sekadar njeplak seperti itu.