Saya kira harus dibangun persepsi yang sama dulu bahwa pembantu rumah tangga bukanlah pekerjaan salah dan dosa. Oleh karena itu siapapun warga negara yang datang mengadu harus dilindungi sebagai warga negara Indonesia.
Kita harus belajar dari negara lain seperti Filipina, India, mereka menghormati pilihan rakyatnya untuk menjadi pekerja apapun termasuk menjadi pekerja seks di luar negeri. Mereka harus dilindungi.
Di Indonesia kita punya lembaga-lembaga yang khusus menangani masalah-masalah buruh migran. Tetapi pada periode ke satu pemerintahan Jokowi tidak jelas kerjanya. Tidak ada yang diurus dan hanya sibuk mengurusi masalah politik. Termasuk juga LSM-LSM buruh migran. Hanya karena menjadi pendukung Jokowi mereka tidak lagi kritis terhadap isu-isu buruh migran.
Oleh karena itu para aktivis hak asazi seharusnya non partisan, agar tidak menderita split personality seperti sekarang.
Kalau ada kabar bahwa selama pemerintahan Jokowi I ada ratusan pekerja migran yang berhasil dibebaskan dari hukuman mati, maka harus segera diperiksa kebenaran datanya. Tidak bisa hanya sekadar njeplak seperti itu.
Sebenarnya tugas para duta besar kita di luarnegeri harus bisa mendeteksi kasus-kasus pekerja migran yang terancam hukuman mati. Harus bisa dideteksi sejak awal, jangan sampai ketika besok mau dijatuhkan hukuman mati baru heboh. Sebab, kalau saja dari awal sudah dilakukan pendekatan hukum, maka mungkin kasusnya bisa jadi tidak sampai ke pengadilan. Karena, bisa dilakukan beberapa konvensi regional di negara tersebut dengan meminta maaf dan sebagainya.
Juga, semestinya harus ada verifikasi apakah benar si tersangka ini bersalah. Jangan-jangan karena hendak diperkosa oleh majikan misalnya, maka dia melawan. Hal itu bisa dijadikan pertimbangan hukum.
Jadi kebanyakan kasus yang sampai dihukum mati itu hanya karena kita lalai mengurusnya. Lembaga-lembaga pemerintah yang seharusnya melakukan pembelaan tapi selama ini konon hanya menjadi calo TKI dan tidak tahu apa yang dikerjakan. Itu kritik saya kepada teman-teman aktivis yang jadi pejabat negara.
Sekali lagi, masalah pekerja migran yang justru meningkat angkanya setelah adanya moratorium, hal itu karena mereka berangkat secara sembunyi-sembunyi. Menurut saya moratorium harus dicabut dan perlindungan terhadap pekerja migran kita harus diperkuat. Terutama dari segi persyaratan pekerja yang berangkat ke luar negeri, jangan lagi meloloskan dengan memanipulasi data umur, misalnya.
Fungsi dari lembaga-lembaga seperti BNP2TKI itu sebenarnya harus diperjelas. Selama ini di bawah Kementerian tenaga kerja banyak terjadi “kucing-kucingan” karena tidak independen. Perusahaan pengerah tenaga kerja ke luarnegeri (PJTKI) juga harus dibuat lembaga tersendiri yang tidak di bawah Kementerian Tenaga Kerja. Pengawasannya bisa dilakukan oleh stakeholers seperti lembaga buruh migran, atau mungkin bisa langsung di bawah Presiden. Bisa juga oleh komisi-komisi yang terkait di Parlemen.
Di Indonesia banyak sekali aktivis pejuang buruh migran tangguh, yang non partisan dan independen. Yang ada sekarang, jika sudah menyangkut kebijakan penguasa soal moratorium TKI/TKW, maka kebanyakan tidak lagi berani bersuara. Padahal moratorium adalah cara pandang yang sesat. (pso)