Perlindungan Pekerja Migran, Upaya Mengurangi Kisah-Kisah Pilu

- Selasa, 29 Oktober 2019 | 16:00 WIB
Ilustrasi watyutink  (gie/watyutink.com)
Ilustrasi watyutink (gie/watyutink.com)

Saya kira harus dibangun persepsi yang sama dulu bahwa pembantu rumah tangga bukanlah pekerjaan salah dan dosa. Oleh karena itu siapapun warga negara yang datang mengadu harus dilindungi sebagai warga negara Indonesia.

Kita harus belajar dari negara lain seperti Filipina, India, mereka menghormati pilihan rakyatnya untuk menjadi pekerja apapun termasuk menjadi pekerja seks di luar negeri. Mereka harus dilindungi.

Di Indonesia kita punya lembaga-lembaga yang khusus menangani masalah-masalah buruh migran. Tetapi pada periode ke satu pemerintahan Jokowi tidak jelas kerjanya. Tidak ada yang diurus dan hanya sibuk mengurusi masalah politik. Termasuk juga LSM-LSM buruh migran. Hanya karena menjadi pendukung Jokowi mereka tidak lagi kritis terhadap isu-isu buruh migran.

Oleh karena itu para aktivis hak asazi seharusnya non partisan, agar tidak menderita split personality seperti sekarang.

Kalau ada kabar bahwa selama pemerintahan Jokowi I ada ratusan pekerja migran yang berhasil dibebaskan dari hukuman mati, maka harus segera diperiksa kebenaran datanya. Tidak bisa hanya sekadar njeplak seperti itu.

Sebenarnya tugas para duta besar kita di luarnegeri harus bisa mendeteksi kasus-kasus pekerja migran yang terancam hukuman mati. Harus bisa dideteksi sejak awal, jangan sampai ketika besok mau dijatuhkan hukuman mati baru heboh. Sebab, kalau saja dari awal sudah dilakukan pendekatan hukum, maka mungkin kasusnya bisa jadi tidak sampai ke pengadilan. Karena, bisa dilakukan beberapa konvensi regional di negara tersebut dengan meminta maaf dan sebagainya.

Juga, semestinya harus ada verifikasi apakah benar si tersangka ini bersalah. Jangan-jangan karena hendak diperkosa oleh majikan misalnya, maka dia melawan. Hal itu bisa dijadikan pertimbangan hukum.

Jadi kebanyakan kasus yang sampai dihukum mati itu hanya karena kita lalai mengurusnya. Lembaga-lembaga pemerintah yang seharusnya melakukan pembelaan tapi selama ini konon hanya menjadi calo TKI dan tidak tahu apa yang dikerjakan. Itu kritik saya kepada teman-teman aktivis yang jadi pejabat negara.

Sekali lagi, masalah pekerja migran yang justru meningkat angkanya setelah adanya moratorium, hal itu karena mereka berangkat secara sembunyi-sembunyi. Menurut saya moratorium harus dicabut dan perlindungan terhadap pekerja migran kita harus diperkuat. Terutama dari segi persyaratan pekerja yang berangkat ke luar negeri, jangan lagi meloloskan dengan memanipulasi data umur, misalnya.

Fungsi dari lembaga-lembaga seperti BNP2TKI itu sebenarnya harus diperjelas.  Selama ini di bawah Kementerian tenaga kerja banyak terjadi “kucing-kucingan” karena tidak independen. Perusahaan pengerah tenaga kerja ke luarnegeri (PJTKI) juga harus dibuat lembaga tersendiri yang tidak di bawah Kementerian Tenaga Kerja. Pengawasannya bisa dilakukan oleh stakeholers seperti lembaga buruh migran, atau mungkin  bisa langsung di bawah Presiden. Bisa juga oleh komisi-komisi yang terkait di Parlemen.

Di Indonesia banyak sekali aktivis pejuang buruh migran tangguh, yang non partisan dan independen. Yang ada sekarang, jika sudah menyangkut kebijakan penguasa soal moratorium TKI/TKW, maka kebanyakan tidak lagi berani bersuara. Padahal moratorium adalah cara pandang yang sesat. (pso)

SHARE ON
Linkedin
Google+
Pinterest
 
-
Ketua Program Doktoral Ilmu Politik Sekolah Pasca Sarjana Universitas Nasional
 
 

Dilihat dari data statistik, pekerja migrant yang dikirim levelnya memang lebih banyak level unskill seperti pekerjaan asisten rumah tangga (ART). Padahal sebenarnya market di beberapa negara seperti Arab Saudi, Hongkong dan Taiwan terdapat demand bahwa yang dibutuhkan banyak juga pekerja yang berkategori skill, atau punya kecakapan lebih yang dibutuhkan.

Oleh karena itu menjadi pertanyaan mengapa Indonesia menjadi sangat lambat menangkap peluang pasar itu. Jadi tidak lagi melulu mengirim tenaga kerja unskilled seperti ART tersebut. Padahal semestinya sudah naik kelas mengirimkan pekerja yang “skill”.

Itulah sebenarnya mengapa amat dibutuhkan penyiapan tenaga kerja kita terutama pada pendidikan-pendidikan vokasi tanah air. Ironisnya, kita mengetahui bahwa pendidikan vokasi kita belum “ngelink” atau belum sinergis antara pendidikan vokasi dengan kebutuhan industri dan juga para pengusaha PJTKI.

Mungkin kita agak susah bergerak terutama karena law enforcement masih amat lemah dan amat buruk. Hal itu harus diakui. Saya menyaksikan sendiri bagaimana para pekerja migran yang baru pulang dari luar negeri diperas dengan berbagai macam pungutan yang nilainya tak masuk diakal. Mereka bahkan ditampung di suatu pos khusus sebelum diantar sampai ke rumah mereka di kampung halaman, dengan biaya transport gila-gilaan. Itu menyedihkan.

Halaman:

Editor: Ahmad Kanedi

Terkini

Siapkan Doping Ekonomi Hadapi Covid-19

Kamis, 26 Maret 2020 | 19:00 WIB

Ekonomi Tolak Merana Akibat Corona

Senin, 16 Maret 2020 | 19:00 WIB

Korupsi, Kesenjangan, Kemiskinan di Periode II Jokowi

Senin, 17 Februari 2020 | 14:30 WIB

Omnibus Law Dobrak Slow Investasi Migas?

Sabtu, 1 Februari 2020 | 17:30 WIB

Omnibus Law dan Nasib Pekerja

Rabu, 29 Januari 2020 | 19:45 WIB

Pengentasan Kemiskinan Loyo

Jumat, 17 Januari 2020 | 16:00 WIB

Omnibus Law Datang, UMKM Meradang?

Kamis, 16 Januari 2020 | 10:00 WIB

Kedaulatan Energi di Ujung Tanduk?

Jumat, 20 Desember 2019 | 19:00 WIB

Aturan E-Commerce Datang, UMKM Siap Meradang

Senin, 9 Desember 2019 | 15:45 WIB

Pertumbuhan Ekonomi Yes, Ketimpangan No

Senin, 2 Desember 2019 | 16:00 WIB

Upaya Berkelit dari Ketidakpastian Ekonomi Dunia, 2020

Kamis, 21 November 2019 | 18:15 WIB

Menunggu Hasil Jurus Baru ala Menteri Baru KKP

Rabu, 20 November 2019 | 10:00 WIB

Terpopuler

X