Khusus untuk industri tekstil, memang sejak reformasi tidak ada lagi investasi baru. Pemerintah juga agak lalai dalam memperhatikan peningkatan kualitas SDM kita. Perguruan Tinggi negeri juga tidak lagi membuka prodi baru untuk teknologi tekstil.
Upaya restrukturisasi industri tekstil juga ternyata gagal. Pernah beberapa kali dilakukan upaya restrukturisasi industri tekstil. Pada 1990an dilakukan restrukturisasi awal industri teksil yang gagal. Setelah itu dilakukan lagi pada tahun 2000-2015 tapi tidak tepat sasaran.
Pengusaha tekstil meminjam uang dengan skema restrukturisasi tetapi ternyata mereka tidak gunakan dana itu untuk membeli mesin-mesin tekstil berteknologi baru. Ditemukan kemudian, beberapa pengusaha malah menggunakan dana itu untuk membeli tanah guna membangun properti. Contohnya grup Alam Sutera, itu semula dari grup industri tekstil tapi malah membangun properti.
Pihak bank juga tidak mengawasi persis penggunaan dana tersebut. Bagi bank mungkin yang penting cicilan lancar dengan agunan pabrik-pabrik industri tekstil. Setelah reformasi memang bisinis properti sedang tumbuh. Dampaknya industri tekstil tidak bisa berkembang sebagimana yang diharapkan. Sekarang kita malah tertinggal jauh dari negara-negara tetangga yang dulu masih belum apa-apa dalam industri tektil.
Sebelum reformasi 1998, ekspor tekstil Indonesia sempat menyentuh 7,2 miliar dolar AS. Bangladesh, ketika itu eskpor tekstilnya masih sekitar 200-300 juta dolar AS. Tetapi sekarang Bangladesh sudah jauh menyalip dan kita tertinggal.
Pada dua tiga tahun terakhir memang ada pertumbuhan ekspor tekstil tanah air, tapi itu masih terlalu sedikit dibanding kinerja ekspor tekstil kita dulu. Inilah kondisi yang dialami industrialisasi kita sekarang karena tidak pernah mengantisipasi terjadinya perlambatan industri paska reformasi.
Langkah-langkah yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah menyetop impor tekstil segera. Itu hal jangka pendek yang harus kita lakukan dan semua memang harus dilakukan bertahap.
Kita kebetulan tidak bisa begitu saja menghentikan impor tekstil karena rupanya terdapat ketidakseimbangan industri tekstil kita. Kita memiliki industri garmen yang sangat maju, tetapi industri midstream seperti benang dan kain mengalami stuck atau tidak maju-maju.
Garmen kita lebih senang membeli bahan baku dari luar sehingga kapasitas kita hanya 4,6 juta meter pada bidang pertentunan. Industri tekstil hulu juga tidak berkembang.
Jadi strateginya harus dihentikan impor tekstil dari luar secara bertahap, kemudian membangun industri tekstil skala menengah. Kapasitas industri harus ditingkatkan 80 persennya. Itu jangka pendeknya.
Untuk jangka panjang harus diperhatikan stabilitas industri nasional. Berikan pinjaman khusus untuk mengambangkan kapasitas idle industri tekstil nasional, agar industri bisa kembali berjalan dengan mengupdate teknologi mesin-mesin tekstil dengan mesin yang paling maju, dan konsumsi listriknya rendah. Pengolahan limbah juga harus dibenahi untuk mengcover isu isu lingkungan. (pso)