Dengan temuan ADB yang bekerjasama dengan IFRI bahwa antara tahun 2016-2018 terdapat 22 juta dari sekitar 25 juta (9 persen penduduk miskin) yang menderita kelaparan kronis, maka menurut hemat saya:
Pertama, sebenarnya hal itu tidak mengherankan karena Garis Kemiskinan yang hanya sekitar 0,9 dolar AS/hari atau Rp400.000/bulan, adalah garis kemiskinan ekstrim yang tidak memenuhi kecukupan gizi untuk hidup tidak kelaparan.
Padahal World Bank menetapkan garis kemiskinan 2 dolar AS/ hari atau sekitar Rp840.000/bulan yang dengan angka itu akan relatif cukup untuk hidup dengan kecukupan gizi.
Kedua, karena dengan pencabutan berbagai subsidi (karena tekanan Rezim WTO untuk menegakkan perdagangan bebas), maka bagi rakyat kebanyakan seperti BBM, lstrik, pupuk dan seterusnya disertai pelemahan kurs rupiah yang membuat bahan-bahan kebutuhan pokok makin mahal, maka bagi rakyat miskin dengan berbagai kebutuhan untuk menyekolahkan anak-anak, transportasi, dan lain-lain, umumnya lebih baik bagi mereka untuk mengurangi makan, kalau perlu hanya 2 bahkan 1 kali makan per hari.
Lebih jauh mereka mengurangi pemenuhan Gizi (protein dari telur, daging, ikan) dan asal ada "ganjal" ("nasi aking" dengan sekadar ikan asin misalnya). Hal Itu publik bisa menontonnya pada pukul 18.00 setiap hari dengan gambaran kehidupan mereka dalam acara Bedah Rumah di GTV.
Ketiga, Rezim Perdagangan Bebas termasuk diberlakukannnya AFTA plus Tiongkok dengan salah satu konsekuensinya adalah banjirnya Tenaga Kerja Asing termasuk tenaga kasar, maka terjadi substitusi tenaga kerja kasar lokal. Kemudian diperparah pula oleh Industri sejak era reformasi yang makin padat modal dan teknologi yang makin meminggirkan rakyat miskin dari pekerjaan formal.
Oleh karena itu temuan ADB dan IFPRI tersebut harus menjadi pelajaran sangat penting untuk mengoreksi strategi pembangunan yang harus makin "people driven", dimana UMKM dan Pertanian dalam arti luas menjadi pilar dalam memacu kembali industrialisasi dari Kabinet Indonesia Maju 5 tahun ke depan dan Pemerintahan-pemerintahan selanjutnya. (pso)

Dalam UUD 1945 Pasal 27 dinyatakan bahwa hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, karena pangan merupakan sebuah kebutuhan dasar manusia. Sebagai kebutuhan dasar dan merupakan hak asasi manusia maka pangan memiliki arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa seperti yang disiratkan dalam UU No, 7/1996. Indonesia berdasarkan hasil penelitian FAO mampu menurunkan angka kelaparan hingga 50 persen dari 19,7 persen di tahun 1990-1992 menjadi 7,9 persen di tahun 2014-2016.
Namun dalam 3 tahun ini krisis makanan menjadi sebuah tantangan pembangunan ekonomi eksternal dan internal Indonesia di tengah persoalan adanya daya saing lemah, adanya ketimpangan pendapatan dan wilayah, serta tingkat ketergantungan yang ada.
Krisis pangan yang terjadi di Indonesia ada beberapa asumsi penyebabnya, antara lain: