Watyutink.com - Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah amanat Undang-undang sebagai pengejawantahan UUD 1945 pasal 33 dalam mengelola aset-aset strategis negara yang seharusnya dapat didayagunakan dalam ikut memakmurkan negara dan rakyat Indonesia keseluruhan.
Heboh rencana penempatan tokoh kontroversial Ahok atau Basuki Tjahaya Purnama (BTP) dalam jajaran pengurus BUMN oleh Menteri BUMN Erick Tohir, memunculkan spekulasi di satu pihak bahwa ada lingkaran dalam BUMN yang tidak ingin BTP masuk dalam jajaran pengurus BUMN, karena dikhawatirkan konon mengganggu kepentingan para pemburu rente dari operasi-operasi BUMN. Meski di sisi mereka yang kontra BTP tidak menghendaki dia masuk, dengan alasan rekam jejak negatif sebagai mantan terpidana.
Namun, sepertinya untuk mengelola BUMN yang pada akhir 2018 menurut official statement mempunyai aset sebanyak Rp8,092 triliun dan laba Rp188 triliun tersebut, bukanlah persoalan siapa figur yang akan mengurus dan mengelola secara clean and clear perusahaan negara dengan amanat super berat sebagaimana amanat UUD 1945 Pasal 33. Tetapi apakah figur tersebut mempunyai kompetensi dan konsep memadai untuk membawa perahu BUMN beserta anak-anak perusahaannya ke arah yang lebih baik dari sekarang. Tentunya juga harus sesuai dengan UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN
Apakah di republik ini memang kesulitan menemukan figur yang dipandang capable dalam mengelola ribuan asset BUMN dan meningkatkan labanya berkali lipat dari hanya sekitar 2 persenan laba seperti saat ini? Atau sebenarnya, seharusnya bukanlah figur yang terlebih dulu jadi fokus bagi pembenahan dan peningkatan kinerja BUMN kita?
Sebagaimana jamak diketahui, disamping rilis akan kinerja BUMN yang semakin tahun dikatakan semakin moncer oleh Menteri BUMN terdahulu, BUMN di Indonesia ternyata juga terbelit berbagai masalah. Dari utang 10 BUMN yang tengah membebani sampai masalah penugasan pemerintah (PSO) kepada BUMN yang belum terselesaikan hingga sekarang (wartaekonomi.co.id,24/10/2019).
Belum lagi masalah korupsi di BUMN yang beberapa kali tertangkap tangan oleh KPK, contoh terakhir adalah pada Oktober 2019 lalu, dimana dalam sepekan KPK meringkus dua Direktur BUMN bidang perikanan (Perum Perindo) dalam dugaan terkait suap kuota impor ikan jenis tertentu.
Hal lain yang mengakibatkan BUMN dikatakan berat untuk bisa menunjukkan peningkatan kinerja adalah rumitnya pemisahan masalah profesionalisme dengan kepentingan politik para petinggi BUMN sendiri, yang memunculkan isu like and dislike dalam pemilihan figur-figur pimpinan di BUMN. Hingga beberapa figur pimpinan yang disebut-sebut mempunyai kinerja rancak, harus tersingkir dan hanya menempati posisi nomor dua.
Dengan demikian publik pun tahu sebenarnya apa yang harus menjadi prioritas dari Menteri BUMN dalam pembenahan menyeluruh kinerja perusahaan negara tersebut. Yang jelas, BUMN yang menjadi andalan negara dalam memperoleh penerimaan dari hasil pengelolaan sumber daya alam milik negara, harus dikembalikan kepada sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan bukan kemakmuran kelompok atau orang per orang.
Apa pendapat Anda? Watyutink?
Cara penempatan pejabat BUMN saat ini sebetulnya menyimpang dari apa yang selama ini dibangga-banggakan oleh reformasi, yakni membangun tata kelola pemerintahan yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Meskipun penempatan pejabat di BUMN sekarang ini menggunakan rezim UU Aparatur Sipil Negara (ASN), namun prosesnya ternyata tidak menggunakan mekanisme lelang jabatan sebagaimana spirit UU ASN. Penempatan pejabat BUMN sepenuhnya adalah hak prerogatif presiden dan Menteri BUMN.
Penempatan pejabat di BUMN oleh pemerintah sekarang tidak hanya sebatas Direktur Utama (Dirut) atau komisaris BUMN, namun juga sampai ke jabatan jabatan teknis misalnya kepala direktur atau setingkat kepala devisi pemasaran. Banyak orang orang yang tidak jelas keahliannya masuk menjadi pejabat BUMN. Banyak juga pejabat di BUMN juga rangkap jabatan di pemerintahan atau di tempat lain.
Patut disayangkan memang, proses ini tidak berlangsung secara inklusif atau terbuka melalui seleksi terbuka. Kaum profesional tidak dapat melamar menjadi pejabat dalam BUMN. Demikian juga pejabat karir di BUMN juga tidak dapat ikut karena mekanisme tidak tersedia. Sementara orang luar BUMN menjadikan jabatan BUMN sebagai alat untuk menambah curiculum vitae mereka agar nantinya bisa menjabat di tempat lain. BUMN menjadi obyek berburu jabatan secara kolusi.
Penunjukan pejabat BUMN dengan cara semacam ini mengakibatkan pemerintah tidak dapat menghasilkan orang-orang terbaik dari yang terbaik. Pejabat BUMN semakin jauh dari profesionalisme, kompetensi dan keahlian seseorang. Namun hanya bermodalkan kedekatan dengan penguasa.