Watyutink.com - Tahun 2020 mendatang, sudah disepakati banyak pemerhati ekonomi merupakan tahun yang diperkirakan potensial memunculkan resesi ekonomi. Keadaan penuh ketidakpastian yang ditengarai bermula dari Perang dagang China – Amerika Serikat (AS), belum juga berakhir. Bahkan pada tahun depan diperkirakan akan semakin memanas dengan rencana China menaikkan kembali tarif bea masuk produk-produk impor dari AS ke China. Begitu pula AS akan berbuat hal serupa.
Perang dagang diperkirakan juga akan semakin sengit bila Presiden Amerika Serikat Donald Trump memenangkan Pilpres AS pada 2020. Trump ditengarai akan memakai taktik membangun emosi pemilih AS bahwa AS harus memenangkan perang dagang melawan China. Hal itulah yang menyebabkan munculnya spekulasi bahwa sebenarnya ekonomi dunia bisa kembali pulih jika Trump kalah dalam Pilpres AS mendatng.
Dampak perang dagang juga rupanya tidak hanya antar dua Negara AS – China tetapi sudah merambah ke benua Eropa. Uni Eropa (UE) berencana akan menerapkan kenaikan tarif bea masuk bagi produk AS yang hendak masuk ke Negara-negara UE. Diantaranya rencana menaikkan tarif bea masuk bagi komponen Boeing yang hendak di impor ke UE. Sementara itu beberapa Negara Eropa mulai dilanda kontraksi dalam produksi diantarannya adalah Jerman.
Uniknya, kawasan lain juga mulai ikut-ikutan “panas”, antara Jepang dan Korea Selatan dimana Korea Selatan terkena pembatalan semua fasilitas dagang dari Jepang, dan juga China dengan India.
Lalu bagaimana risiko dari ketidakpastian global tersebut terhadap perekonomian domestik? Untuk itulah CORE Economic Outlook 2020 & Beyond, “Meningkatkan Peluang di tengah Ketidakpastian Global” kemarin (20/11) melaksanakan diskusi publik untuk mengkaji hal tersebut.
Perekonomian domestik disebutkan memang sedang dalam kondisi berat akibat dampak dari perlambatan ekonomi dunia. Pertumbuhan ekonomi nasional pada 2019 juga diperkirakan tidak akan lebih dari 5,1 persen. Repotnya, sektor konsumsi yang selama ini menjadi penopang dari pertumbuhan ekonomi (56,8 persen-2018) pada kuartal III-2019 juga mengalami penurunan dari anjloknya penjualan retail dan kendaraan bermotor.
Padahal, Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter telah berusaha meningkatkan minat berinvestasi dan kredit masyarakat dengan menurunkan tingkat suku bunga hingga 100 bps menjadi 5,00 persen pada akhir 2019. Namun Survei Perbankan BI mengindikasikan pertumbuhan triwulanan kredit baru melambat pada triwulan III-2019.
Perkembangan tersebut tercermin dari saldo bersih tertimbang (SBT) permintaan kredit baru pada triwulan III-2019 sebesar 68,3 persen, lebih rendah dibandingkan 78,3 persem pada triwulan sebelumnya. Berdasarkan jenis penggunaan, perlambatan tersebut terutama bersumber dari kredit investasi dan kredit konsumsiPada 2020 (BI.go.id, 10/2019).
Penurunan konsumsi dan tingkat kredit, diperkirakan oleh mandegnya sektor industri manufaktur yang terus saja mengalami perlambatan. Tragisnya, sektor pertanian dan tanaman pangan juga mengalami penurunan yang parah.. Sementara impor gandum (3 juta ton pada 2017) dan gula Indonesia menjadi yang terbesar se dunia.
Penurunan sektor Pertanian dan Tanaman Pangan ditengarai terjadi akibat tidak adanya keberpihakan terhadap kesejahteraan petani. Ironisnya, penurunan sektor pertanian tersebut juga selama ini telah menyebabkan 5 juta keluarga petani keluar dari lahannya. Namun, dengan kontraksi yang terjadi pada sektor manufaktur, menjadi pertanyaan kemana larinya jutaan keluarga petani tersebut?
Apa pendapat Anda? Watyutink?
Pada periode lalu memang terjadi ketidaksinkronan data antara kementerian pertanian, BPS dan kami sendiri selaku akademisi yang bergelut di bidang pertanian sekaligus pemerhati kinerja produksi pertanian dan pangan.
Data yang dapat kami sampaikan bahwa kontribusi pertanian kita terhadap PDB nasional selalu lebih rendah dan rada mengkhawatirkan justru pada 2019 ini. Karena pada triwulan kemarin untuk pertumbuhan sektor tanaman pangan terdapat angka minus 4. Hal itu amat luar biasa.
Ada beberapa aspek penting yang perlu diulas. Penyebab dari minus nya sektor tanaman pangan seperti yang sudah diketahui umum bahwa aspek lahan, produksi, paska produksi dan kelembagaan. Empat aspek tersebut amat mempengaruhi kinerja sektor tanaman pangan.