Harus disepakati terlebih dulu, dalam penegakan hukum di sebuah negara, tidak ada demokrasi bisa tegak dengan baik kalau hukum belum menjadi panglima. Atau democracy by the law. Artinya semua harus sepakat bahwa yang menjadi panglima adalah hukum, baru kemudian berbicara demokrasi.
Kalau tidak, maka kita bisa menafsirkan bahwa yang berkuasa adalah sebuah negara kekuasaan. Jadi bukannya kedaulatan rakyat, tetapi penguasalah yang memonopoli kekuasaan.
Kita harus sepakat bahwa semua harus berawal dari situ, meskipun kita mengklaim bahwa negara kita adalah negara demokrasi. Tetapi sebenarnya proses-proses demokrasi itu tetap dibajak oleh kekuasaan yang ada.
Hal itu bisa dilihat yang paling dekat adalah kasus korupsi. Kasus korupsi di Indonesia bukanlah kasus kriminal biasa. Tetapi korupsi di Indonesia adalah suatu konspirasi para elit yang melibatkan siapa saja yang terkait dengan pembagian kekuasaan.
Itu digambarkan pada sistem banyak partai, namun sayangnya hal itu tidak punya korelasi dengan meningkatnya fungsi kontrol. Relasi kekuasaan tidak memunculkan aktifnya fungsi check and balances. Bangunan relasi kekuasaan seperti tu kemudian mendikte pada struktur di bawahnya, sampai ke desa.
Jadi aparat hukum tidak bisa lepas dari pengaruh kekuasaan. Apalagi kita lihat aparat kepolisian tidak bisa netral.
Hal itu semua ada hubungannya dengan sistem demokrasi yang kita bangun bahwa sesungguhnya tida ada single majority, yang bisa memiliki satu kekuasaan yang efektif.
Kekuasaan yang pas-pasan ini memerlukan topangan instrumen kekuasaan lain termasuk aparat keamanan. Hal itu mencerminkan keadaan yang sama dengan era orde baru, hanya dulu tentara yang dilibatkan. Sekarang polisi yang diseret ke dalam sistem kekuasaan.
Jadi walaupun di desa ada lembaga kepolisan dan lain-lain, tetap tidak secara otomatis bisa efektif mencegah perilaku korup. Jadi korupsi yang tejadi di Indonesia terdapat pegaruh kekuasaan yng sangat luar biasa. Wajar kalau kemudian upaya pemberantasan korupsi juga sangat lamban.
Problem yang kedua adalah, kucuran dana desa seharusnya tidak seperti membagi-bagi begitu saja dana kepada masyarakat. Sebelum dana desa dikucurkan sebetulnya telah banyak pendapat publik yang mengatakan bahwa ada indikasi dana tersebut dikucurkan sebelum Pemilu. Jadi lagi-lagi ada motif kekuasaan. Bagaimana memobilisai dukungan dengan menggunakan anggaran negara. Dari pemberian dana desa itu transaksi politik menjadi tidak bisa dihindari.